Aku mendekap erat Mama yang sudah menungguku di depan pintu rumah dengan kedua tangannya yang langsung direntangkan di tengah kakiku yang sedang melangkah ke arahnya. Kami menangis tersedu-sedu melepaskan rindu satu sama lain karena sudah sangat lama tidak jumpa. Mama melepas diri kemudian menyentuh pipiku dan dikecupnya.
Hati teriris saat kedua tanganku menyentuh punggungnya dan merasakan bobot tubuh Mama yang menyusut. Cara jalannya berubah sedikit tertatih dan garis pada kulit wajahnya yang semakin kentara. Separah apakah kondisi Mama saat ini, tanyaku dalam hati. Aku membimbing Mama ke sofa, lalu kembali memeluknya erat dari samping ketika kamu sudah duduk.
“Kangen banget sama Mamanya, ya. Sampai Om dan Tante nggak disapa,” canda Tante Maria yang duduk di sebelah Mama. Aku meringis kemudian melepas pelukan dan menyapa beberapa sanak saudara yang mungkin ke sini khusus untuk menyambut kepulanganku.
“Kamu kurusan banget, Ros. Nggak makan apa, percuma merantau kalau pulang nggak ada perubahan sama sekali,” sindir Om Rudi--adik Mama nomor dua--menilai dengan tatapannya dari kepala sampai ujung kakiku, ketika aku hendak menjabat tangannya.
Wajahku langsung berubah dari ceria karena senang bisa berkumpul dengan keluarga lagi, menjadi cemberut. Aku sengaja memperlihatkan ekspresi wajahku yang tidak baik-baik saja pada semua orang di sini agar mereka peka, kalau perkataan seenaknya bisa membuat orang sakit hati.
“Gitu aja, tersinggung, Ros,” kata Om Rudi begitu menyadari aku tak suka mendengar ucapannya.
“Kamu sebaiknya nggak usah ngomong banyak. Anakku baru datang, udah kamu komentari. Mau dia kurus atau gemuk yang penting dia nggak pernah sakit di sana dan pulang dengan selamat,” cecar Mama membelaku.
Salah satu keluargaku yang lain langsung mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan hal lucu yang baru saja dia alami agar suasana tidak tegang. Aku menikmati kebersamaan ini, tetapi kehadiran om Rudi tetap membuatku tak nyaman karena sesekali dia masih menyindiriku yang pulang belum membawa gelar sarjana.
Dari pada aku darah tinggi di sini, sebaiknya aku pamit masuk ke dalam kamar karena malas melihat wajah-wajah menyebalkan yang hanya datang untuk menilai orang. Persetan kalau mereka akan menggunjingku sebagai anak kurang ajar karena tidak sopan terhadap orang yang lebih tua. Sudah ku bilang, tidak ada yang benar-benar tulus peduli padaku.
Ketika telapak kaki menginjak ubin dingin di kamar, aku merasa lebih tenang. Kamar ini tidak ada yang berubah. Letak tempat tidur, meja, lemari, dan jumlah boneka di tempat tidur semua masih sama. Namun, kamar ini sedikit bau cat. Aku menyentuh tembok yang sedikit lembab, kayaknya kamar baru dicat ulang dengan warna kesukaanku dulu. Kalau sekarang, aku menyukai semua warna, tidak hanya berpatokan pada warna biru saja.
Aku memutar tubuh menghadap meja dan menemukan ada sebuah pigura yang berisi foto Papa, Mama, dan aku yang berusia lima tahun, diletakkan di atas benda ini. Pasti Mama yang pajang di sini.
Aku menyentuh foto itu dan mendadak menitikan air mata, sembari mendekap benda ini erat. Rindu sekali dengan suasana waktu masih ada Papa tiap kali aku pulang liburan. Papa akan menjemputku bersama Mama di bandara dan membawa kami keliling kota, kemudian singgah di rumah makan yang jadi langganan keluarga kami. Sementara hari ini, aku ke rumah menggunakan taksi karena tidak ingin merepotkan orang lain. Ketika sampai di rumah, menyaksikan fisik Mama yang banyak berubah membuatku sedikit menyesal karena telah membuang banyak waktu di luar.
Perjalanan yang melelahkan membuatku jatuh tertidur. Waktu membuka mata, kamarku sudah gelap. Aku mengambil ponsel yang kusimpan dalam tas. Ada satu lambang surat muncul di layar bagian atas. Mataku membeliak dengan debar jantung lebih cepat ketika membaca siapa pengirimnya.