Azada memang pintar banget mengelola bisnisnya dan membaca pasar. Saat pandemi ini, dia punya ide cemerlang untuk segera memproduksi baju yang nyaman dipakai di rumah dan bisa digunakan untuk bersantai atau sedang menjalani rapat waktu WFH. Target pasarnya dari mahasiswa sampai berusia awal 40an. Awalnya PAAZ hanya fokus membuat kemeja untuk mahasiswa dan orang kantoran, tetapi sekarang mulai merambah kaos, masker kain, hand sanitizer, dan sandal rumah.
Azada juga menyarankan agar membuat konten yang fokus membahas hal-hal apa saja yang menyenangkan dilaksanakan di rumah. Agar konten lebih maksimal, mau tidak mau sesekali aku harus memublikasikan kegiatanku di rumah saat masak atau menyiram bunga ke dalam story. Namun aku mengatur kamera tidak menyorot wajahku. Mengejutkan jumlah impresi akun bertambah karena ternyata para pengikut akunPAAZ sangat menyukai kegiatan yang ku lakukan.
“Ros, kamu siapkan materi pertanyaan ya, minggu depan kita mau live dengan Abi, konsultan keuangan milenial. Kalian akan membahas cara mengelola keuangan di masa pandemi,” ucap Azada saat menghubungiku lewat telepon.
Aku hampir saja menjatuhkan ponsel dari genggaman. “Hah! Nggak ah, gila aja aku harus tunjukin muka di kamera. Aku ngomong di kelas aja ha...ho...ha...ho. Ini disuruh ngomong live di depan banyak orang.” Aku meninggalkan sedikit rasa hormat pada Azada sebagai atasanku karena tak menyangka dia memberikan penawaran yang mengejutkan.
“Hitung-hitung latihan kalau suatu saat kamu jadi wakil rakyat di DPR RI sana.” Azada mengikik geli dengan ucapannya sendiri.
“Ngawur. Kasih orang lain aja. Tolong Azada, aku nggak bisa,” mohonku sekali lagi.
“Bukan nggak bisa, tapi nggak mau. Pasti bisa kok, ini waktunya masih satu minggu lagi, kamu masih bisa ngumpulin data sambil coba ngikutin live-nya Abi dengan akun lain. Biar pelajari karakteristis orangnya dan jangan sampai mengajukan pertanyaan yang sama dengan akun yang lain. Aku percaya kamu bisa bawain acara ini dengan baik. Nanti akan ada bonus buat kamu.”
Aku menggigit kuku mempertimbangkan tawarannya. Lumayan juga kalau dikasih bonus, hitung-hitung buat tambah tabungan atau bisa bantu Mama untuk beli beras. Coba saja, mungkin dengan ini aku bisa sekalian belajar bicara di depan publik.
“Ya, udah. Aku coba buat pertanyaannya, pokoknya harus lihat dan koreksi dulu,” kataku tegas.
“Nah, gitu dong. Aku seneng deh kamu bisa keluar dari zona nyaman gini,” puji Azada dengan suara riang.
“Maaf kalau nanti banyak salah.”
“Nggak apa-apa. Gini, biar nggak salah ngomong, nanti kamu buat catatan kata-kata apa saja yang akan kamu katakan, tapi pas live kamu taruh tulisannya di samping HP atau di atas layar, ya. Biar nggak kelihatan lagi nyontek catatan. Bahan obrolannya tentang cara anak muda mengelola uang agar bisa membiayi kebutuhan bulanan dan nggak terjebak dengan gaya hidup yang konsumtif. Terus bahas apa saja yang harus anak-anak muda persiapkan untuk menjalani keseharian di tengah pandemi dalam hal pengelolaan keuangan. Setelah itu kamu ajak penonton untuk ajukan pertanyaan … oh ini kamu ngomongnya di awal aja, biar mereka bisa langsung ajukan pertanyaan. Jadi kamu tinggal baca pertanyaan-pertanyaannya itu.”
Aku mencatat semua yang Azada bilang di secarik kertas. Tidak bosan-bosannya aku memuji dia yang cerdas. Pantas saja jadi anak rektor, eh terbalik. Jadi anak Rektor makanya cerdas. Eh, benar tidak ngomongnya gini.