“Sejak dua tahun yang lalu, kesehatan Mama mulai menurun dan toko sering tutup. Paling seminggu tiga sampai empat kali dibuka. Lama-kelamaan pelanggan beralih ke toko lain. Akibatnya pendapatan toko juga menurun.” Mama mulai menjelaskan karena aku terus mendesaknya untuk cerita.
“Mama kenapa nggak percayakan pada Mbak Rani yang jaga toko aja?” Aku mengatur posisi agar bisa duduk berhadapan dengan mama di tempat tidurnya.
“Sebelum Mama sakit, toko kita pernah kehilangan uang karena dicuri sama Dody. Mulai saat itu Mama nggak bisa percaya orang lagi.”
Aku menggeleng tak percaya. Bisa-bisanya, Mama menutup hal ini dariku. “Terus karena pendapatan berkurang, sementara aku minta uang terus akhirnya Mama pinjam uang.” Aku menggigit bibir menahan isak.
“Iya. Salahnya Mama pinjam sama rentenir yang kasih bunga tinggi sampai buat Mama gali lubang, tutup lubang… udah, kamu jangan sedih lagi. Masalahnya udah selesai kok. Dua bulan lalu Mama cerita kalau ada yang balikin uang yang dia pernah pinjam waktu Papa masih hidup. Nah, uang itu Mama pakai untuk bayar utang sama rentenir terus sebagian Mama kirim ke kamu. Cerita Mama bilang toko mau dijual sama buka usaha katering, hanya akal-akalan Mama aja karena bingung pakai alasan apa untuk suruh kamu cepat pulang.”
Aku menghembuskan napas lega, setidaknya Mama tidak pernah berniat menjual toko itu karena bangunan itu adalah salah satu harta berharga dan kenang-kenangan yang Papa tinggalkan untuk kami.
“Aku buka toko aja ya, mumpung wisuda masih lama,” ucapku hati-hati.
“Nggak. Biar Mama aja yang jaga toko. Kamu tugasnya di rumah dan belajar,” sahut mama tegas.
“Mama malu kalau aku yang kuliah jauh, tapi begitu kembali hanya jaga toko?” tanyaku lirih.
Mama mencibir lalu menoleh ke arah lain, menghindari tatapanku. Aku hanya meresponnya dengan tawa kecil.
“Ma, aku nggak peduli sama sekali dengan anggapan orang lain. Selama aku melakukan hal benar dan nggak mengambil hak orang, jadi pelakor misalnya---”
“Huss sembarangan kalau ngomong.” Mama menyalak memotong kalimatku.