Jalan Masih Panjang

Nona Adilau
Chapter #27

27. Arosa yang Bertemu Papa dan Angkasa

Aku mengernyit heran ketika kakiku menyentuh pintu masuk rumah karena melihat Papa sedang berbincang dengan seorang anak muda yang sangat kukenal di ruang tamu. Anak muda itu bercerita dengan penuh semangat sampai tertawa lebar tanpa ada rasa canggung.

“Angkasa, dari mana kamu tau rumahku?” tanyaku sebelum mencium tangan Papa dan duduk di sampingnya.

“Dulu kamu pernah kasih alamat rumahmu. Lupa ya?” jawabnya dengan raut jenaka.

Aku menatap ke langit-langit rumah lalu mengangkat bahu. “Lupa.”

“Gimana hari ini?” tanya Papa menepuk tanganku.

“Capek banget, Pa. Aku tuh udah pernah bilang kalau nggak cocok kerja kantoran, tapi tetap maksa. Sekarang aku stres banget. Keadaan kantor nggak membuatku nyaman. Atasan nggak pernah menghargai kerja bawahan, sesama karyawan saling sikut dan saling menjatuhkan. Aku pengen resign aja, Pa,” keluhku dengan raut sedih.

“Ingat, perjuangan kamu masuk ke kantor itu bersaing dengan ratusan pelamar dengan seleksi yang sangat ketat sampai kamu pernah sakit. Sabar aja, mungkin kamu belum ketemu hal yang menyenangkan di sana, wong baru kerja satu bulan, pasit belum akrab sama pegawai yang lain.” 

“Serius, Om? Arosa diterima kerja setelah mengalahkan ratusan pelamar? Hebat banget kamu, Ros. Bangga banget aku. Sudah ku bilang, kamu itu pintar, tapi hanya terlalu malas untuk berusaha dan berpikir,” katanya lalu tertawa geli.

Aku mengerucutkan bibir dan melirik Angkasa tajam. “Kebiasaan naikin orang terus jatohin lagi. Ngapain kamu ke sini?”

“Aku ke sini mau kunjungi papamu. Kamu nggak tau 'kan, kita berdua udah lama akrab. Ya nggak, Om?” Angkasa menatap papa dengan senyuman dan dibalas anggukan.

Aku menatap mereka berdua bingung. Sejak kapan mereka bisa akrab. Perasaan papa dan Angkasa belum pernah bertemu, aku juga tidak pernah cerita tentang kedekatanku dengan Angkasa, takut papa akan menyuruh aku menjauhinya. Aku memperhatikan mereka berdua yang kembali berbicara dengan akrab. Aku baru menyadari, kalau mereka sama-sama mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana kain panjang yang warnanya senada dengan bajunya.

Papa dan Angkasa tiba-tiba bangun berdiri. “Kami mau pergi dulu. Kamu tunggu di sini sama mama. Jangan kemana-mana. Hidup ini memang berat, tapi kalau kamu mau terus berusaha dan berserah sama Tuhan, pasti ada jalan keluarnya. Anak Papa harus terus semangat.” Papa meraihku ke dalam pelukan. Lama sekali Papa mendekapku, kemudian dia mengecup keningku lama. “Yuk,” ajak Papa pada Angkasa.

Mereka berdua berjalan ke arah pintu dan menoleh sebentar, kemudian menjauh seiring aku mengedipkan mata. Ingin mengejar mereka, tapi kakiku mendadak kaku sehingga hanya berdiri mematung menatap punggung mereka. Kucoba paksa kakiku untuk melangkah, tapi tak bisa. Aku berteriak memanggil Papa dan sahabatku itu. Namun, mereka tak mau menoleh. Air mataku berderai ketika perlahan mereka masuk ke dalam kepulan asap putih. Mereka kemana, kenapa tidak mengajakku. Jahat sekali. 

Aku masih menebak-nebak kemana mereka akan pergi. Namun, mendadak badanku melayang tinggi sampai menyentuh plafon, lalu dibanting ke lantai. Aku meraup oksigen sebanyak mungkin karena pasukan udara yang masuk ke paru-paru mulai menipis. Tubuhku terlentang, mata sontak terbuka, tetapi tak bisa menangkap cahaya apapun di sini. Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya lagi, dan menyentuh kening yang basah. Aku memutar kembali kilas kejadian yang baru saja terjadi dalam mimpi. Pasti mereka sedang merindukanku sama seperti aku yang sedang merindukan mereka, makanya papa dan Angkasa tiba-tiba menghampiriku. 

Mungkin ini juga pertanda kalau mereka merestui rencanaku untuk mengelola toko peninggalan Papa dan ingin menyampaikan pesan agar aku tidak boleh menyerah, walaupun mendengar selentingan negatif dari sekitar. 

Dua hari yang lalu, seorang tetangga yang rumahnya berjarak sekitar 100 meter dari rumah, menghampiriku yang sedang membersihkan toko. Kebetulan pintu toko sedang terbuka meski sedang tidak melayani pembelian. 

Lihat selengkapnya