“Disimpan dulu kertasnya. Awas, makananmu habis dimakan lalat.” Mama menarik hard copy skripsi yang sedang aku baca dari genggamanku.
“Bentar, Ma. Ada materi yang belum aku hafal.” Aku menatap skripsi yang sudah berpindah ke tangan mama dengan nanar, lalu menunduk menghadap piring yang masih penuh dengan makanan setelah mendapat pelototan dari mama.
Pagi ini mama dan kak Rani sudah sangat sibuk di dapur memasak berbagai aneka makanan. Sementara aku mendekam di dalam kamar sejak semalam karena belajar untuk persiapan ujian skripsi siang ini.
Waktunya masih tersisa lima jam lagi, tapi aku sudah gelisah. Jantungku tak mau berdetak dengan tenang. Setiap lima belas menit sekali bolak-balik kamar mandi. Khayalan tentang gagalnya ujian skripi yang berakibat aku tak lulus, mendadak hinggap di pikiran. Aku takut, sebentar membuat kesalahan. Oke, tetap tenang, Arosa. Coba untuk berpikir positif, kataku mengucapkan mantra ini.
“Kamu udah tau siapa aja pengujinya?” tanya Mama selepas kembali menyimpan skripsi di kamarku.
“Belum tau, Ma. Dari seminar proposal sampai ujian skripsi nggak pernah di kasih tau siapa pengujinya. Jadi kayak kejutan gitu. Semoga aku dapat penguji yang nggak terlalu banyak tanya.”
Setelah lambungku terisi penuh dengan makanan, aku jadi tak berminat lagi untuk mempelajari isi skripsi lagi. Soalnya dari tadi, semakin aku baca materinya, akan semakin buatku gugup dan bisa fatal kalau lupa. Sudah, aku pasrahkan semua hasilnya pada Sang Khalik.
Pukul 11, aku mulai bersiap-siap memakai kemeja putih, rok hitam, dan blazer hitam. Tak lupa aku membubuhkan sedikit perona di bibir dan bedak di wajahku. Supaya terlihat lebih segar di layar para penguji dan dosen pembimbing dan aku memang ingin tampil semaksimal mungkin, sebagai bentuk menghargai diriku dan orang lain.
Pukul 13, aku yang terlebih dahulu masuk ke dalam ruangan meeting virtual. Lima menit kemudian pak Paris masuk. Seperti biasa dia tampil rapi dengan kemeja hitam yang lengannya dilipat sampai siku.
“Sudah belajar?” tanya Pak Paris dengan senyuman yang seketika membuatku sedikit menahan napas.
“Sudah, Pak. Belajar sampai tadi sebelum sarapan,” balasku sedikit terbata.
“Oke. Semangat, ya.”
Tak lama penguji 1 dan penguji 2 masuk yaitu, Pak Budi dan Bu Marla. Kalau bisa videonya dimatikan, mungkin aku akan melakukannya karena rasanya ingin melompat kegirangan. Semua pengujiku adalah dosen yang terkenal tak pernah menyusahkan mahasiswa dengan pertanyaan mereka.
Mereka berbincang sebentar saling menanyakan kabar dan bercerita mengenai keadaan mereka yang sudah lama tidak saling jumpa. Sepuluh menit kemudian, pak Paris membuka ujian. Awalnya semuanya berjalan lancar, tetapi mendadak timbul masalah waktu aku dipersilahkan untuk memulai presentasi.
“Arosa, suara kamu putus-putus. Slide presentasi kamu juga belum muncul.” Pak Paris menginterupsi, tetapi yamg terdengar di telingaku suaranya berubah seperti robot.
Telapak tanganku mulai gemetar dan basah oleh keringat. “Pak, ijin disconnect sambungan internet dulu," ucapku dengan suara lantang agar mereka bisa mendengar suaraku dengan jelas.
“Suara kamu tidak kedengaran,” sambung Pak Budi.
Aku panik, pikiranku seketika kacau. Dadaku sesak dan cairan hangat mulai mengaliri pipiku. Tuhan, kalau mau kasih cobaan tolong jangan sekarang. Pak Paris mengirim pesan kalau mereka memberiku waktu untuk memperbaiki masalah jaringan ini paling lambat sampai dua puluh menit ke depan.