Jalan Masih Panjang

Nona Adilau
Chapter #30

30. Arosa yang Belajar Hal Baru

Selama ada di rumah aku jarang masuk ke dapur. Biasanya ke tempat itu hanya kepentingan konten saja, Biasalah pencitraan. Soalnya sudah ada kak Rani yang bertugas untuk masak sekaligus mengurus rumah. Wanita yang belum berumah tangga itu sangat rajin. Tiap subuh sudah bangun mengerjakan tugas dan tak ada capeknya. Dari dalam rumah sampai di halaman ditata dengan rapi dan selalu bersih.

Tadi aku sempat mengorek sedikit tentang latar belakang Kak Rani. Siapa sangka pendidikan terakhir Kak Rani adalah sarjana pendidikan. Pantas saja dari tutur kata dan pembawaannya sedikit berbeda.

“Kak, kenapa nggak kerja ngajar aja. Maksudku dengan gelar yang kamu punya bisa buka peluang untuk dapat pengalaman yang jauh lebih banyak dan mungkin bisa punya jenjang karir yang lebih bagus lagi,” responku setelah Kak Rani selesai bercerita tentang kisah hidupnya sebagai seorang sarjana yang memilih menerima tawaran menjadi asisten rumah tangga di rumahku.

“Aku nggak percaya diri, Kak Ros. Dulu aku hanya pengen merasakan kuliah seperti teman yang lain, makanya asal ambil jurusan. Pas udah mulai kuliah, ternyata berat banget, tapi tetap maksa harus selesai karena orang tua udah keluarin uang banyak. Imbasnya aku jadi malas-malasan karena nggak ngerti satu materi apapun. Di kelas juga pasif mau tanya-tanya ke teman yang lebih pintar karena takut di-bully. Sekarang menyesal banget karena lulus dengan IPK kecil. Sudah coba melamar ke sana kemari, tapi selalu ditolak karena kalah sama orang-orang yang punya pengalaman dan lebih pintar dari aku.”

Aku sangat mengerti apa yang dirasakan oleh Kak Rani karena aku pun mengalaminya. Dulu aku tidak berani melakukan apa pun bahkan meragukan diri sendiri karena tidak percaya diri. Makanya mendengar cerita wanita itu aku seperti berkaca dan tidak akan menghakiminya.

“Aku salut sama Kakak, berani ambil pekerjaan ini dan tutup kuping sama omongan orang lain karena ekspektasi terhadap orang yang punya pendidikan tinggi suka berlebihan.” Aku mengambil wortel mentah yang baru saja dibersihkan kulitnya oleh Kak Rani dan mengunyahnya.

“Habis mau gimana lagi. Orang tua udah nggak mau tanggung biaya hidupku dan mereka udah kecewa banget aku lulus dengan nilai pas-pasan. Kalau aku pilih-pilih pekerjaan, bisa mati kelaparan. Bersyukur aku kerja di sini di gaji dengan nominal yang layak dan pelan-pelan bisa bantu orang tua renovasi rumah di kampung. Aku nggak peduli, orang mau bilang percuma sarjana, tapi jadi pembantu. Bukan mereka yang kasih makan aku kok.” 

“Betul juga sih, Kak. Aku aja yang jaga toko karena sedang menunggu wisuda aja udah jadi bahan pembicaraan orang-orang. Awalnya aku emang sedih, tapi setelah itu bodo amat.” Sementara berbicara, wanita itu mengambil kulit wortel yang sebelumnya sudah dia cacah dan membuangnya ke sebuah ember berwarna hitam yang ada tutupannya di bawah tempat cuci piring.

“Kak, itu tempat sampah?” tanyaku sambil menunjuk ember itu dengan daguku.

Lihat selengkapnya