Jalan Masih Panjang

Nona Adilau
Chapter #34

34. Arosa yang Mendengar Kenyataan Pahit

Kalau ada fansclub Pak Paris, mungkin Mama akan menjadi ketuanya. Sepanjang sarapan, hanya membahas karakter pria itu yang berbanding terbalik dari yang selama ini aku ketahui. Menurutnya, Pak Paris itu sabar, mau saja meladeni telepon maupun SMS dari mama walaupun dia sibuk, baik hati, dan hormat dengan orang tua--kalau ini mungkin aku setuju.

“Mungkin usianya masih muda, makanya nggak mau menikah. Padahal kalau mau, Mama jodohkan dia sama Melisa aja. Sama-sama pintar dan berprestasi.”

Aku menggantung sendok berisi nasi goreng yang akan aku suapi ke dalam mulut. “Melisa umurnya masih kecil. Sementara Pak Paris udah mau 30 tahun.” Aku meletakkan sendok di atas piring. “Orang kayak Pak Paris pasti udah punya kriteria pasangan hidup yang mungkin selevel sama dia. Mugkin tipe-tipe Putri Indonesia kali. Kalau modelan tampangnya kayak kita ini nggak masuk hitungannya. Udah, Ma. Nggak usah mikirin jodoh anak orang lain. Anak sendiri aja belum ketemu jodoh.”

Mama tertawa kencang. “Kasihan banget sih anak Mama belum pernah pacaran, tapi Mama bersyukur kamu nggak pacaran dan itu salah satu hal yang buat Mama nggak begitu kuatir waktu kamu masih di kota kamu merantau. Mama percaya kamu bisa jaga diri.”

Kalau mau jujur sebenarnya aku hampir beberapa kali tergoda untuk pacaran, tetapi segera ku putuskan komunikasi kalau sudah terlalu intens dan muncul perasaan lebih. Aku punya keinginan ingin pacaran jika sudah mapan. Pengen jalan-jalan atau traktir pacar dengan uang sendiri. 

***

Aku menceritakan rencana Mama untuk menjodohkan mereka pada Melisa dan reaksinya diluar dugaanku. 

“Kenapa nggak sama Kakak aja? Kakak tuh cantik, cocoklah sama dia.”

Aku bergidik ngeri. “Jangan gila deh. Seleranya perempuan high class, pasti sekolahnya juga harus S2 kayak dia. Lagian aku juga nggak mau sama pak Paris. Aku suka cowok sabar dan perhatian, bukan orang kayak dia yang suka marah-marah dan dingin.” Ingatanku kembali pada kejadian semalam, cara dia memperlakukan mama dengan cara yang hangat, mendengar tanpa memotong pembicaraan, ikut tertawa ketika mama mengeluarkan lelucon yang sebenarnya garing. Aku curiga, kayaknya dia punya kepribadian ganda.

“Pak Paris itu ganteng, cewek mana yang nggak suka, tapi sayangnya seleraku brondong. Dulu pernah pacaran sama yang lebih tua, tapi nggak ada gregetnya. Sama brondong tuh lebih seru, apalagi kalau mereka lagi manja, kayak lagi kelonin anak sendiri. Sekarang aku lagi ngincar brondong gemes kayak yang itu tuh.” Dia menunjuk Randy yang sedang mengangkat barang pesanan ke dalam boks yang selalu dia pakai untuk mengantar paket.

“Oh, jadi ini alasan sebenarnya kamu rajin datang ke sini. Pura-pura bilang mau cari inspirasi, ternyata mau godain pegawaiku. Khusus dia aku nggak bolehin. Anaknya lagi fokus kejar cita-cita. Jangan kamu ganggu dia dengan urusan percintaan yang nggak jelas.”

“Tenang kok, Kak. Aku mainnya halus, nanti kalau dia skripsian, aku mau menawarkan diri menjadi pembimbing 0, biar pendekatannya mulai dari sana.”

“Dasar sinting.”

***

Aku mendapat telepon dari Pak Paris tiga hari setelah dia mengunjungi rumahku. Katanya besok dia akan pulang sehingga minta untuk bertemu. Aku sudah beralasan tidak bisa diganggu, tetapi dia sedikit memaksa dan mengatakan kalau pertemuan ini sangat penting. 

“Maaf terlambat. Soalnya masih tunggu ojek online yang tadi sempat nyasar waktu jemput saya di rumah,” ujarku ketika menghampiri Pak Paris yang sudah duduk di kursi panjang di bawah pohon flamboyan. 

Aku mengarahkannya untuk bertemu di alun-alun kota. Agak aneh, memang. Namun, aku merasa tempat ini lebih aman karena ada pos polisi sekitar tempat ini. Soalnya walaupun aku sudah mengenalnya, tapi waspada itu perlu.

Lihat selengkapnya