“Ros, kapan ujiannya?” tanya Mama ketika aku baru keluar dari kamar.
“Tiga hari lagi, Ma, tapi aku udah deg-degan dari sekarang. Takut kalau nilaiku nggak sesuai passing grade. Misalnya kalau aku nggak berhasil, nggak apa-apa ‘kan, Ma?”
“huust… nggak boleh ngomong gitu. Yakin pasti lulus. Mama tiap hari doakan kamu, jadi jangan takut. Jalani aja dulu, sisanya serahkan sama Tuhan.” Mama tersenyum seraya mengelus rambutku.
“Iya, Ma. Aku hanya kasih tau, biar lebih realistis aja, soalnya aku rasa kurang persiapan. Takutnya nanti Mama terlalu berharap, terus aku nggak lulus. Takut buat Mama kecewa.”
Sejak tiga minggu yang lalu aku mengurangi intensitas untuk belajar. Entahlah tiba-tiba semangatku kendor lagi. Perasaan jadi tak tenang, overthinking mulai kembali, dan aku mulai mempertanyakan keputusanku, apakah tepat atau tidak aku memilih jalan ini. Sejak pulang dari mengantar pesanan di TPA pikiranku selalu tak tenang. Memikirkan sampah yang menumpuk sebanyak itu dari sisa konsumsi makhluk hidup. Apalagi sepanjang masuk mendekati kawasan tempat pembuangan akhir, kendaraan yang lewat didominasi oleh mobil truk berwarna kuning dengan sampah yang memenuhi kendaraan itu.
Aku berjalan ke dapur mencari Kak Rani. Ternyata dia sedang mencuci plastik. Aku punya ide untuk mengajaknya jalan-jalan. Kebetulan sekarang hari minggu, biasa toko tutup.
“Kita kemana, Kak?” tanya Kak Rani Penasaran.
“Kita jalan-jalan di lingkungan ini aja. Selama aku di sini nggak pernah muter komplek ini. Yuk.”
Aku menunggu Kak Rani membilas plastik dan menjemurnya. Kata Kak Rani biar plastik itu bisa dipakai lagi atau nanti dimasukan ke dalam ecobrick. Mungkin berlebihan, tapi aku terkesima dengan kreatifitas kak Rani dan mungkin sedikit iri. Dia menjadi manusia yang bebas menentukan pilihan tanpa harus mempertimbangkan ekspektasi orang lain.
***
“Halo, Kak Ros.”
“Kak, Ros. Baru kelihatan deh.”
“Kak, Ros selamat ya udah wisuda.”
Begitulah sapaan orang-orang yang kami lewati sepanjang jalan. Aku bersyukur tinggal di lingkungan ini, walaupun ada beberapa orang yang suka mencari tahu kehidupan orang lain sampai ke akar, tetapi lebih banyak orang-orang baik yang lebih suka menolong tanpa banyak bertanya.
“Kak, sayang banget tumpukan sampah gitu dibakar. Asapnya ‘kan nggak bagus untuk lingkungan. Sebaiknya kalau punya sampah kita pilah. Nanti sampah organik bisa buat kompos, tapi sampah yang bukan organik kita setor ke bank sampah.” Kak Rani mengomentari seorang tetangga kami yang sedang membakar sampah.
“Mungkin itu satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan untuk mengurangi sampah. Aku juga paham, di sini nggak ada tempat pembuangan sampah umum yang nantinya akan diangkut sama mobil kuning. Mau edukasi untuk pilah sampah, tapi di sini nggak ada bank sampah," sahutku sambil mengipas kepulan asap dari pembakaran sampah yang sedikit menganggu pernapasanku.