Berkali-kali aku menghirup oksigen dan menghembuskannya lagi, kaki dan tanganku belum berhenti gemetar. Aku tak bisa menangis sama sekali, tetapi dada dan tenggorokanku sakit luar biasa. Aku dan seluruh keluarga besar sedang menunggu mama yang sementara ditangani oleh tenaga medis. Saking banyaknya orang, sampai sebagian dari kami dipaksa keluar oleh satpam. Mengingat kondisi masih pandemi, sehingga dilarang membuat kerumunan.
Sewaktu menemukan Mama pingsan di depan kamar, aku langsung membangunkan Melisa dan Kak Rani. Kami bertiga segera menggotong mama ke mobil Melisa yang untungnya dia bawa menginap di rumahku. Melisa secepat kilat memacu mobil. Sepanjang perjalanan aku memeluk dan memanggil mama tiada henti. Aku meraba kulit wajah dan tangan masih hangat, tetapi kulit kakinya mulai berubah dingin. Seketika membuatku kembali memeluk erat dan meraung memanggilnya.
Ketika sampai di rumah sakit, tekanan darah Mama setelah ditensi berada pada 200/110. Dokter segera memberikan instruksi untuk segera membawa Mama ke ICU. Kalau seperti itu berarti keadaan Mama tidak baik-baik saja ‘kan? Tuhan, tolong selamatkan Mama.
“Kamu tuh emang anak yang dari dulu buat susah kak Rini. Tukang habisin uang orang tua, lulus kuliah lama, sekarang kamu nggak mau ikut CPNS. Kamu lihat sekarang, akibat perbuatanmu kakakku terbaring di dalam sana dan nggak sadarkan diri. Kalau ada apa-apa sama Kakak, kamu habis di tanganku!” bentar Om Rudi di depan wajahku.
Aku menantangnya matanya yang sedang membola. Di saat seperti ini bisa-bisanya dia menyalahkanku. “Om jangan sembarangan bentak aku, kalau nggak tau apa-apa!” balasku membentaknya.
Tangan pria dinaikan tinggi ke udara dan siap diayunkan ke wajahku, tetapi langsung dipegang oleh istrinya. “Papa, tolong kontrol emosinya. ini rumah sakit. Jangan sampai kita buat keributan di sini. Lagian kita belum dengar cerita yang sebenarnya dari Rosa … dia sedang dalam keadaan susah, seharusnya kita datang untuk menenangkan, bukan malah memarahinya.”
“Kamu diam. Ini urusan aku sama anak ini!” hardik pria itu pada istrinya.
“Kita pulang sekarang atau aku ke depan panggil satpam buat ngusir Papa.” Tante Sarti memberi peringatan sambil berkacak pinggang menghadap suaminya.
Om Rudi menghentakan kakinya sembari menggeram kesal. Dia sempat melirikku tajam sebelum berlalu meninggalkan ruangan ini yang disusul istrinya.
Aku mengusap air mata dan berjalan tak tentu arah untuk menenangkan diri. Tak pernah ku sangka sedikit pun akan mengalami hal seperti ini. Kepercayaan diri akan keputusan yang sudah kupikirkan beberapa hari lalu kini luntur sudah. Penyesalan demi penyesalan tak bisa lagi aku hindari. Andai tadi tetap mengikuti ujian, tetapi aku akan sengaja tidak tuntas mengerjakan soal, sehingga kalau dinyatakan tidak lulus Mama akan menerimanya. Dibandingkan menuruti keputusan ceroboh yang membuat mama kecewa dan menjadi sakit seperti sekarang.
Ros, kamu memang sebodoh itu, rutukku dalam hati. Perkataan om Rudi masih terngiang-ngiang. Aku memang anak sial yang sering menyusahkan orang tua. Papa jatuh di kamar mandi dan berakhir meninggal dunia pun, setelah beberapa menit selesai ngobrol denganku lewat telepon.
“Kak, Ros di mana?” tanya Melisa lewat sambungan telepon.
“Aku lagi di taman. Jangan susul aku ya, soalnya lagi pengen sendiri.” Aku memutus panggilan sepihak.
Aku menyentuh layar ponsel untuk melihat jam. Waktu menunjukan pukul tiga pagi. Netraku menyusuri deretan tulisan yang berada di bawah jam digital dan membaca tanggal yang tertera di sana. Seketika hatiku seperti dihantam dengan pukulan keras dan tangisku pecah. Hari ini adalah hari kematian papa. Pada jam yang sama, beberapa tahun lalu aku dihubungi lewat telepon oleh salah satu keluargaku dan menyampaikan kabar kalau Papa sudah tiada. Saat ini pikiranku langsung tertuju pada Mama yang belum sadarkan diri. Tidak … aku tidak ingin pikiranku ini direalisasikan oleh Tuhan.
Aku langsung bergegas ke ICU tempat Mama dirawat. Namun, peraturan ruangan tidak boleh ada pasien yang masuk, maka aku hanya bisa menatap pintu masuknya saja. Aku menempel tubuhku menyentuh permukaan pintu, lalu meraung memanggil mama. Mungkin karena suara tangisku terlalu kencang, aku sampai diusir oleh perawat dan satpam.
“Mohon jangan ada di sini kalau ingin membuat keributan. Ini rumah sakit, bukan pasar,” tegur suster yang datang dari dalam ruangan ICU.
“Saya mau lihat mama saya, Sus,” pintaku dengan suara bergetar.
“Maaf karena masa pandemi, kami melarang ada yang menunggu pasien pada malam hari. Anda baru dipersilahkan menjenguk pasien mulai jam tujuh pagi. Untuk informasi lebih lengkapnya silahkan membaca yang sudah ditempel di depan pintu.Sekarang saya minta tolong menjauh dari ruangan ini karena suara Anda cukup mengganggu.”
“Ayo, Mbak saya antar keluar,” ucap pak Satpam hendak menyentuh lenganku.
Aku menggeser tubuh mencegah agar pria bertubuh besar itu tidak menyentuhku. Aku segera memohon maaf pada suster dan satpam. Kemudian berjanji untuk tidak membuat keributan lagi, asalkan aku tidak diusir keluar dari rumah sakit. Untungnya mereka masih memiliki hati untuk membiarkanku duduk di depan ruangan ICU.