6 Tahun Kemudian
Perayaan ulang tahun ke-4 Bank Sampah Rini Jaya akan dimulai sebentar lagi. Aku yang sudah mengenakan kebaya dan songket berdiri dengan gelisah, di dekat ‘janur’ yang terbuat dari kantong plastik bekas karena ajudan Walikota mengabarkan bahwa, mereka sudah dalam perjalanan ke tempat ini. Selain acara ulang tahun, hari ini juga akan dilaksanakan peresmian berdirinya bank sampah ini oleh Bapak Walikota.
Aku meneliti bangunan, tumpukan sampah yang dijadikan dekorasi, dan ratusan kursi yang sudah diisi oleh para nasabah yang turut diundang. Mataku memanas melihat pencapaian ini. Jatuh bangun, kami mengelola bank sampah ini bersama-sama dengan orang yang percaya bahwa jenis usaha ini bisa membawa dampak untuk lingkungan dan perekonomian warga.
Pengambilan nama “Bank Sampah Rini Jaya”, berasal dari nama kedua orang tuaku. Mama bernama Rini dan Papa bernama Jaya. Pernah suatu hari setelah satu tahun bank sampah ini berdiri, mama cerita bertemu seorang ibu yang menitipkan salam untukku karena berkat bank sampah ini, dia bisa mencicil motor untuk anaknya.
Butuh waktu dua tahun untuk mulai mengoperasikan bank sampah, karena sebelumnya aku fokus membuat konten edukasi tentang pengelolaan sampah dan gaya hidup zero waste. Setelah mendapat cukup banyak follower, baru aku mulai membangun bank sampah.
Tak lama kemudian satu per satu mobil berplat merah parkir di depan gerbang penyambutan. Aku mendadak gugup karena ini pertama kalinya bertemu dengan bapak Walikota yang datang bersama istrinya, serta Bapak Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kota. Kami--para badan pengurus bank sampah dan pemerintah setempat yaitu, Lurah, Camat, RW, RT dan masyarakat turut menyambut kedatangan Bapak Walikota dan istri, beserta rombongan.
“Bapak dan Ibu, Selamat datang di Bank Sampah Rini Jaya. Terima kasih sudah berkenan menghadiri undangan kami,” ucapku tulus lalu aku menyerahkan bunga yang terbuat dari ilalang kering dan ikatannya terbuat dari jerami. Aku juga memperkenalkan rekan-rekan yang membantu terwujudnya bank sampah ini. Ada Kak Rani, Melisa, dan Randy.
Acara langsung di mulai begitu Bapak Walikota dan rombongan duduk di tempat yang telah disediakan. Tari-tarian dari anak-anak sanggar tari asuhan kami yang jadi pembuka acara ini. Setelah itu acara dilanjutkan dengan sambutan dari pimpinan bank sampah yaitu aku sendiri.
“Kita dengarkan sambutan dari Pimpinan Bank Sampah Rini Jaya, Ibu Arosa Maharani. Waktu dan tempat kami persilahkan,” kata pembawa acara memberiku kesempatan untuk maju ke depan.
“Tes mic 1,2,3.” Aku menghembuskan napas untuk menenangkan detak jantung yang semakin menggila. Walaupun ini bukan pertama kalinya aku berbicara di depan umum, tetap saja aku kuatir nanti salah berbicara dan mungkin struktur kalimat yang kuucapkan menjadi berantakan, sehingga kurang enak didengar. Makanya aku selalu diserang rasa gugup.
Pertama aku mengucapkan terima kasih kepada semua pejabat yang hadir di tempat ini dan aku mulai menceritakan kisah tentang proses pendirian bank sampah ini.
“Waktu saya membangun bank sampah beserta empat saudara saya, ada selentingan yang mengatakan ‘sayang, mereka semua bergelar sarjana, tetapi mau melakukan pekerjaan ‘kotor’ seperti ini. Awalnya saya sedih mendengar ujaran seperti itu karena sekarang sudah bukan saatnya kita menilai suatu pekerjaan dari gelarnya, tetapi dari visi misi dan hasil yang orang itu kerjakan. Namun, itu hanya sedikit sekali dari begitu banyak orang yang mendukung. Dari dukungan itu, kami menjadi lebih percaya diri untuk mengembangkan bank sampah ini menjadi lebih besar, dengan mengajak masyarakat untuk bergabung menjadi bagian dari Bank Sampah Rini Jaya.
"Alasan saya memulai bank sampah karena saya peduli dengan kota tempat saya lahir dan dibesarkan. Saya ingin kota ini berkembang lebih bersih dan kalau mau bersih, semua harus dimulai dari diri kita sendiri. Maka bank sampah Rini Jaya hadir untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka produksi. Dimulai dari mencegah, mengurangi produksi sampah, memilah, dan mendaur ulang. Agar sampah-sampah ini tidak berakhir di tempat pembuangan akhir yang bisa menimbulkan zat-zat yang berbahaya untuk lingkungan. Selain itu, ada alasan lain mengapa saya membangun bank sampah ini. Dulu, saya pernah berada di titik terendah dalam hidup karena tak tau apa tujuan hidup dan hanya bisa menyusahkan orang tua. Sampai saya mengibaratkan diri sendiri seperti sampah yang tak berguna.” Aku mengatur napas dan menyesuaikan penglihatan mata yang sedikit rabun karena genangan air di pelupuk mata.