Jalan Menuju Terang

Michael Rully
Chapter #2

Di Persimpangan Jalan

Langit pagi berwarna abu-abu ketika Ardian berjalan menyusuri jalan setapak menuju kapel kecil di atas bukit. Udara pagi yang dingin membelai wajahnya, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Di kejauhan, deretan pohon pinus berdiri kokoh, seolah menjadi penjaga setia dari keheningan yang menenangkan. Ardian sering datang ke sini—tempat di mana waktu terasa melambat, dan dunia luar seperti menghilang.

Setiap langkahnya terasa berat, mencerminkan beban yang menggumpal dalam hatinya. Ia membuka pintu kayu kapel kecil itu perlahan, suara engsel tua berderit pelan. Kapel itu sederhana, dengan bangku kayu tua yang berderet rapi dan altar kecil di ujung ruangan. Lilin-lilin kecil menyala, cahayanya berkelip-kelip, menari di atas bayangan dinding batu. Ardian duduk di barisan depan, menatap salib besar yang tergantung di dinding.

"Tuhan, apa yang sebenarnya Kau inginkan dariku?"

Bisikan itu nyaris tak terdengar, namun menggema di seluruh ruang hatinya. Ardian menutup matanya, mencoba mendengar suara dalam keheningan. Ada ketenangan di sini, tetapi ada pula ketidakpastian yang menggelayut. Keputusan yang harus diambil bukanlah keputusan kecil. Itu adalah keputusan yang akan mengubah segalanya.

Kenangan yang Tak Terlupakan

Saat Ardian masih kecil, ia sering mengunjungi kapel ini bersama ibunya. Maria adalah sosok yang religius, meskipun cara pandangnya tentang iman lebih tradisional. Ia mengajarkan doa-doa harian, menghadiri misa mingguan, dan menekankan pentingnya menjaga tradisi keluarga. Namun, bagi Ardian, pengalaman di kapel lebih dari sekadar rutinitas. Ada sesuatu yang ia rasakan—sebuah panggilan yang sulit dijelaskan.

Ia teringat saat berusia sepuluh tahun, duduk di bangku yang sama. Cahaya pagi menembus jendela kaca patri, membentuk pola warna-warni di lantai batu. Ibunya duduk di sampingnya, berdoa dengan khusyuk. Ardian, yang masih kecil, bertanya, "Ibu, apakah Tuhan benar-benar mendengarkan doa kita?"

Maria tersenyum lembut. "Tentu saja, Nak. Tuhan selalu mendengar, meskipun kita kadang tidak mendengar jawaban-Nya."

Kata-kata itu terpatri di benaknya. Namun sekarang, di usianya yang hampir tiga puluh, Ardian merasa sulit mendengar jawaban Tuhan. Panggilan itu ada, tetapi suaranya terhalang oleh kebingungan, ketakutan, dan harapan keluarganya.

Lihat selengkapnya