Jalan Menuju Terang

Michael Rully
Chapter #6

Makan Malam yang Tenang, Pikiran yang Bergelora

Malam itu, suasana makan malam di rumah Ardian terasa hangat, meskipun hati Ardian terasa jauh dari kedamaian. Meja makan yang sederhana, dengan lampu gantung yang menerangi wajah-wajah yang sudah dikenal sejak ia kecil, tetap menjadi tempat yang penuh kenyamanan bagi keluarga mereka. Hidangan yang terhidang adalah masakan ibunya yang selalu penuh rasa, namun tidak seperti biasanya, Ardian tidak dapat sepenuhnya menikmati makanan itu. Sebuah kekosongan ada dalam dirinya yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.

Ayahnya, yang duduk di ujung meja, berbicara dengan tegas namun penuh kasih, seperti biasanya. "Kalian harus selalu ingat, masa depan itu tidak datang begitu saja. Kalian harus bekerja keras untuk meraihnya," ujar pria itu, sembari memotong daging di piringnya. "Aku ingin kalian semua sukses, bukan hanya untuk diri kalian sendiri, tapi untuk keluarga ini. Ardian, aku yakin kamu punya banyak potensi. Sudah saatnya kamu benar-benar merencanakan masa depanmu."

Ardian mengangkat kepalanya, menatap ayahnya sejenak. Ada keraguan yang mulai tumbuh dalam hatinya, meskipun ia mencoba untuk tetap tersenyum dan memberi tanggapan. "Iya, Pa. Aku sedang mencoba berpikir tentang itu."

Ayahnya melanjutkan, tanpa menyadari kegelisahan yang sedang dirasakan anaknya. "Kamu tahu, aku berharap kamu bisa melanjutkan apa yang sudah kita mulai. Bisnis ini sudah berjalan lama, dan aku percaya kamu bisa mengembangkannya lebih besar lagi. Aku ingin kita bisa bekerja bersama, meraih kesuksesan yang lebih besar. Keluarga kita mengandalkanmu, Ardian. Aku tidak ingin kamu melewatkan kesempatan itu."

Kata-kata itu seperti tamparan bagi Ardian. Di satu sisi, ia sangat mencintai ayahnya dan ingin memenuhi harapannya. Ayahnya telah bekerja keras untuk memastikan keluarga mereka memiliki kehidupan yang lebih baik. Namun, di sisi lain, semakin dalam ia terlibat dalam pelayanan gereja, semakin ia merasa bahwa panggilan Tuhan di hatinya semakin kuat. Ia merasa terperangkap antara dua dunia yang sangat berbeda.

Ibunya, yang duduk di sisi lain, tersenyum lembut dan menyela, mencoba menjaga keseimbangan dalam percakapan. "Kamu tahu, Ardian, kami selalu bangga padamu. Apa pun yang kamu pilih, kami akan mendukungmu. Tapi aku harap kamu bisa mempertimbangkan baik-baik pilihanmu. Masa depan itu tentang apa yang membuatmu bahagia dan merasa berarti."

Lihat selengkapnya