Hari itu, suasana di gereja terasa berbeda. Gereja yang biasanya sepi kini dipenuhi oleh umat yang datang untuk merayakan Ekaristi. Ardian duduk di bangku gereja, mengenakan pakaian serba hitam, bersama teman-teman OMK yang sudah ia kenal baik. Di sampingnya, Clara duduk dengan tenang, mengikuti setiap gerakan dan doa dengan khusyuk. Meskipun ruangan gereja penuh dengan suara lagu pujian dan doa umat, ada kedamaian yang mendalam yang menyelimuti hati Ardian.
Setiap kali ia hadir dalam perayaan Ekaristi, Ardian merasa seolah-olah Tuhan sedang berbicara langsung kepadanya. Ada kedamaian yang datang begitu dalam, seolah-olah semua keraguannya menguap seiring dengan setiap kata yang terucap dalam doa. Meskipun banyak hal yang masih mengganjal dalam pikirannya, seperti perasaan takut mengecewakan keluarganya, perayaan ini selalu mengingatkan Ardian akan tujuan hidup yang lebih besar.
Clara menyadari ketenangan di wajah Ardian. Ia tahu, Ardian sedang berjuang dengan banyak perasaan dalam dirinya, tetapi saat mereka bersama di gereja, ada sesuatu yang membuatnya merasa lebih tenang dan terkoneksi dengan Tuhan. Di sela-sela doa, Clara menoleh sedikit ke arah Ardian dan tersenyum lembut. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, suara lembutnya hampir tenggelam dalam nyanyian umat.
Ardian mengangguk pelan, meskipun ada keraguan yang masih meliputi hatinya. "Aku hanya... merasa bahwa ada sesuatu yang harus aku putuskan, Clara," jawabnya dengan suara yang sedikit tertekan.
Clara tidak buru-buru memberi jawaban. Ia tahu betul apa yang sedang dialami Ardian. Mereka sudah lama berbicara tentang panggilan hidup, tentang bagaimana Tuhan memanggil seseorang untuk mengikuti jalan-Nya, bahkan jika jalan itu tidak selalu sesuai dengan harapan orang lain. Namun, Clara juga tahu bahwa Ardian masih ragu untuk mengikuti panggilan itu sepenuhnya, terutama dengan kondisi keluarganya yang menginginkan hal yang berbeda.