Ardian berjalan dengan langkah yang tenang menuju taman gereja. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai dalam dirinya, sebuah perasaan yang mengganggu, yang terus mengusik pikirannya. Setelah berdoa di gereja, ia merasa perlu untuk berdiam diri lebih lama, untuk merenung lebih dalam tentang langkah hidupnya, tentang panggilannya, dan tentang segala hal yang tengah ia rasakan. Di taman belakang gereja, terdapat sebuah gua kecil yang sering menjadi tempat perenungannya. Biasanya, Ardian akan menemukan kedamaian di sana, jauh dari kebisingan dan tekanan dunia luar.
Saat ia sampai di dekat gua Maria, ia terhenti sejenak. Lampu temaram di sekitar gua menerangi jalan setapak, dan udara malam yang sejuk menyambutnya. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Dari kejauhan, ia melihat seseorang duduk di depan gua, dalam diam yang begitu mendalam.
Ardian mengenali sosok itu. Clara.
Clara tampak seperti sedang berdoa, dengan kepala tertunduk dan tangan terlipat di depan dada. Wajahnya yang tenang menunjukkan bahwa ia sedang berusaha untuk mencari kedamaian, meskipun ada sesuatu yang tampak begitu berat di dalam dirinya. Ardian merasa terkejut, tetapi juga tergerak. Ia tidak menyangka akan bertemu Clara di sini, di tempat yang sama yang sering ia kunjungi untuk mencari jawaban atas pergumulannya sendiri.
Dengan langkah perlahan, Ardian mendekati Clara, berusaha tidak mengganggu ketenangannya. Begitu dekat, ia dapat melihat air mata yang menetes di pipi Clara, meskipun gadis itu tampak berusaha untuk menahan dirinya. Namun, yang membuat Ardian terdiam bukan hanya air mata Clara, melainkan ekspresi di wajahnya yang penuh dengan pergumulan batin yang dalam.
Clara merasakan kehadiran Ardian yang mendekat. Ia mengangkat kepala perlahan, menyeka air matanya dengan punggung tangan. Wajahnya menunjukkan sedikit keheranan, namun segera digantikan dengan senyum tipis.
"Ardian..." suara Clara terdengar pelan, namun penuh dengan kehangatan yang seakan mengundang Ardian untuk duduk bersamanya.