Pagi itu, Ardian duduk di ruang makan, tak dapat mengabaikan perasaan gelisah yang menguasai dirinya. Sarapan yang disiapkan ibunya hanya tersentuh sedikit, seakan ia tak bisa menikmati apapun. Suasana rumah terasa biasa, tetapi ada ketegangan yang menyelimuti ruang itu, seperti ada sesuatu yang menunggu untuk diungkapkan. Seminggu terakhir, ayahnya banyak berbicara dengan ibu tentang masa depan Ardian, tetapi tidak pernah langsung padanya. Ia tahu, entah kapan, percakapan itu pasti akan datang.
Tidak lama kemudian, ayahnya masuk ke ruang makan, membawa sebuah map besar yang berisi berbagai brosur universitas. Wajah ayahnya tampak serius, namun penuh harapan.
"Ardian," kata ayahnya sambil duduk di hadapannya. "Aku ingin kita berbicara tentang masa depanmu."
Ardian menatapnya, berusaha tersenyum meskipun hatinya gelisah. "Tentu, Ayah."
Ayahnya membuka map itu dengan hati-hati, lalu menunjukkan beberapa brosur universitas luar negeri. "Aku sudah berbicara dengan beberapa kolega, mereka sangat merekomendasikan agar kamu melanjutkan studi di luar negeri. Program-program ini akan membantumu mempelajari manajemen bisnis, ekonomi, dan keterampilan yang akan sangat berguna untuk melanjutkan bisnis keluarga kita."
Ardian memandang brosur-brosur itu, tapi pikirannya terasa kosong. Jantungnya berdegup kencang, dan ia merasa ada sesuatu yang berat sedang mengendap dalam dirinya. "Aku paham, Ayah," jawabnya pelan, berusaha menjaga ketenangan.