1998
Namaku Jongga, mahasiswa semester dua.
Jika ada satu sajak yang tidak masuk akal tapi justru paling dapat kumengerti adalah sebaris kalimat dari puisi indah, “Yang fana adalah waktu.”
Waktu selalu habis.
Berakhir.
Fana.
Meski detik serasa tidak bertepi dalam rumah ini. Sunyi.
Namun dia tetap akan pergi ketika aku memejamkan mata, atau mengebaskan perasaan kesepian dalam hati dengan menghantam telingaku dengan lagu yang bertalu-talu.
Sedangkan aku, kita semua, disini, abadi.
Menjalani hidup dengan apapun yang diberikan. Tidak bisa memilih keadaan, suka tidak suka harus diterima. Hanya karena yakin semua adalah yang terbaik untuk kita.
“Hah! Yang terbaik?! Siapa bilang?!”
Ya, aku tidak suka persepsi bahwa yang kita terima adalah yang terbaik. Maka, sedikit-demi sedikit aku belajar untuk tidak menerima. Dan aku merasa bahagia.
Pagi hari,
Tidak ada bedanya di rumah ini. Selalu sepi. Seolah ada kutukan tak terpatahkan menyelubungi bangunan yang berstatus sebagai tempat tinggal keluarga kami.
Tidak ada keriuhan suara-suara kehidupan, kesibukan aktivitas pagi yang biasa kuihat di film-film, iklan televisi, tentang keluarga yang terlihat bahagia, sarapan bersama.
Tidak ada.
Yang ada, hanya seperti biasanya, piring-piring porselen mahal, peralatan makan lengkap, hidangan penuh gizi yang disiapkan si mbok.
“Sarapan dulu, den..” Mbok Nah mencoba mengingatkan, ketika aku hanya melihat meja sekilas dan tidak menyentuh apapun.
“Di kampus saja, mbok..” jawabku.