Karina membuka mata.
Dia berada di sebuah ruangan serba putih, selang infus yang terhubung ke tangan kirinya menguatkan, bahwa itu adalah rumah sakit.
Perlahan kesadarannya mulai muncul, ingatan apa yang terjadi sebelumnya pun hadir. Karina merasa alangkah baiknya jika dia tidak usah terbangun lagi.
Seorang perawat masuk ke kamar perawatan yang luas, tersenyum tulus ke arahnya.
“Ibu sudah bangun..?”
“Suster.. tolong suntikkan saja obat yang bisa membuat saya tidur panjang…” Karina merintih pilu. Rasanya tidak sanggup lagi menjalani hidup dengan kenyataan sepahit itu.
“Ibu, saya minta dokter memberikan resep obat untuk merasa lebih tenang, ya..?” jawab perawat setengah baya itu sebelum keluar ruangan dan menutup pintu.
Tak lama, daun pintu terbuka perlahan, bayangan sosok kecil berambut keriting terpantul di lantai marmer yang bersih.
“Jongga?” panggil Karina dengan penuh kasih.
“Mamaaaa..” anak kecil berwajah bulat menggemaskan menghambur ke arahnya, memanjat ranjang dan memeluknya erat.
Damai.
Sampai kemudian,
“Pelan-pelan, Jongga.. mama sedang sakit..” Buana menyusul di belakangnya.
Karina membelalakkan mata, “Jangan mendekat. Aku tidak ingin melihat wajahmu!” ujarnya dengan suara berbisik dan bibir nyaris tidak terbuka. Kemudian memalingkan wajah kembali tersenyum ke arah rusa kecilnya, Jongga.
“Mama kangen sekali sama Jongga..”
***
Secepat apapun kita berlari. Sepandai apapun kita menghindari. Sesuatu yang memang tersurat harus dihadapi, akan menemukan jalannya untuk menghampiri.
“Kita harus bicara..”
Ujar Buana sore itu.