Jongga
Jakarta, 1998
Aku berjalan di trotoar menuju tempat perhentian bus yang akan membawaku ke kampus.
Kemudian beralih ke jalanan ibukota dengan klakson kendaran bermotor yang ramai.
Aku lebih menikmati berada di tengah keramaian, pergi – pulang kuliah naik bus kota. Berdesakan dalam kendaraan yang sesak dengan manusia. Aku merasakan kehidupan disana.
Laksana melihat wajah-wajah pejuang, berangkat ke medan pertempuran. Aku mendengar harapan di sorot mata mereka.
Lagipula, pagi-pagi begini udara dalam bus masih penuh semangat. Harum segar, jarang yang sudah berkeringat. Orang-orang berpakaian rapi, mahasiswi cantik yang tersenyum manis ketika kutawarkan tempat duduk. Sebuah interaksi yang tidak bisa dibeli jika duduk dalam mobil pribadi.
“Pletak!”
“Aduh!” Jongga mengaduh, ketika tiba-tiba saja seseorang menepuk pundaknya.
“Jangan yang muda saja yang dikasih tempat duduk!” seorang perempuan setengah baya memprotes.
“Oh.. maaf bu, silahkan.” Jongga segera berdiri dan membiarkan ibu itu duduk. Dia mencuri pandang pada gadis yang tadi ditawarinya tempat duduk. Gadis itu menutupi wajahnya dengan buku tebal di tangan. “Dia pasti sedang tertawa geli. Matanya menyipit begitu,” pikir Jongga.
Aku merasa sedikit malu, tapi juga senang. Paling tidak, orang-orang bisa merasakan keberadaanku, dan juga sebaliknya.
Karena, rasanya melelahkan berada dalam rumah yang selalu sepi, nyaris tanpa aura manusia. Terkadang sulit membedakan antara lamunan dan kenyataan, karena keduanya sama-sama tidak memiliki nafas kehidupan. Bahkan seringkali lamunanku terasa lebih nyata.
Aku senang mengamati wajah manusia, mencoba menebak apa yang sedang dipikirkannya, kehidupan seperti apa yang sedang dijalaninya. Masalah yang sedang dihadapinya. Hal-hal yang mungkin menjadi keinginannya.
Namun yang paling mengasyikkan adalah membayangkan apa yang kira-kira ada dalam pikiran orang saat ini juga. Karena aku lelah bermain dan dipermainkan pikiranku sendiri.
Misalnya saja seorang laki-laki berkacamata bingkai hitam, memakai kemeja yang disetrika kasar, berumur sekitar akhir 30an, berdiri tak jauh di depan. Berulang kali dia melihat ke arah jendela sambil sesekali melirik jam tangannya. Aku tidak akan heran jika tiba-tiba nanti pria itu berteriak frustasi: “Kenapa macet sekali, Hah!!! Saya ada presentasi sebentar lagi!!”
Atau mungkin juga, dia sebentar lagi memanjat ke atas bus kota kemudian berlari di atapnya, melompat tinggi tiap kali dia menolakkan kakinya di atas bus dan mobil-mobil yang diam, mengular dalam jalur kemacetan. Dan ternyata dia seorang pahlawan super! Siapa yang tahu kan? Dalam film saja, Superman ketika mengenakan kacamata adalah seorang pria biasa yang bekerja di sebuah kantor surat kabar.
Aku tertawa sendiri, menatapnya beberapa saat, dan kelihatannya dia menyadari bahwa dia sedang diperhatikan.
Bus kota yang kunaiki berhenti untuk menurunkan penumpang, seorang penjual koran naik dan menawarkan surat kabar hari ini. Sejurus kemudian pria yang kuduga seorang pahlawan super itu mengibaskan lembar tabloid olahraga yang barus saja dibelinya. Melipat menjadi delapan bagian kemudian mencoba menyibukkan diri dengan berita-berita yang ada di dalamnya. Meskipun matanya diam-diam tetap melihat ke arahku sesekali.
Seorang pria lain di sebelahku, beruban, tengah bersandar di pintu bus tampak sibuk dengan buku tipis berisi kotak-kotak, teka-teki silang yang terlihat masih baru.