Jalan Pulang

Kenya Indrasti M
Chapter #5

Benda Berharga

“Keren kamu! Seperti pahlawan super!” ujar pria itu sambil mengulurkan tangannya, “Aku Adhi.” Ucapnya, memperkenalkan diri.

 

Aku menyambutnya dengan ramah, “Jongga, mas.”

 

“Turun dimana?” tanya Adhi.

 

“Kampus..” jawabku sambil menunjuk sekilas ke arah depan bus.

“Sudah sarapan?” tanyanya ramah.

 

“Belum sih..” jawabku. Entah mengapa, aku senang berbincang dengan orang ini.

 

“Aku dulu juga kuliah disana, seingatku ada bubur ayam enak di situ. Aku traktir sebagai ucapan terimakasih. Bagaimana?” tawarnya ramah.

 

“Wah, bubur ayam? Boleh juga.” Aku menjawab dengan semangat. Perutku memang sudah keroncongan karena di rumah tadi tidak sarapan.

 

Di halte selanjutnya, Adhi meminta sopir bus untuk berhenti. Kami berdua turun dan berjalan santai menuju penjual bubur ayam legendaris. Suara orang mengobrol dan tertawa santai mulai terdengar.

 

Pagi hari begini, tempat itu memang selalu ramai. Gerobak penjual yang mengisi panci besar dengan bubur mengepul, setelah dituangkan kuah khas dan ditaburi daun bawang, seledri dan bawang goreng, akan menguarkan aroma lezat. Memanggil-manggil siapapun yang lewat untuk memesan dan duduk di bawah pohon besar yang menaungi gerobak bewarna merah putih.

 

“Si abang bubur masih suka ngomongin politik?” tanya Adhi sambil tertawa kecil.

 

“Hahaha.. bener-bener! Berarti dari dulu sudah trademark-nya ya mas?” sahutku.

 

“Dua mangkok ya bang!” Adhi memesan dua porsi kemudian duduk di bangku plastik di sebelahku. Seorang perempuan meletakkan dua gelas beling untuk kami berdua, di sebelah teko plastik berisi teh tawar.

 

“Sudah ganti sih, abang buburnya. Mudah-mudahan rasanya masih sama,” Adhi berkata sambil mengisi gelasnya dengan teh tawar panas. Diseruputnya minuman itu meskipun uap dari gelas bermotif bunga itu masih mengepul.

 

Aku menahan napas, sejenak uap itu tampak begitu pekat dan membubung tinggi.

Tidak.

Ketika kulihat baik-baik, ternyata berasal dari senjata api yang baru saja ditembakkan.

 

“Jongga?” kudengar suara Adhi memanggil, “Ini buburnya…”

 

Kuhapus paksa bayangan senapan itu dan berusaha keras membangun kembali kesadaranku. Meskipun orang yang memegang senjata itu masih terlihat jelas, berdiri di sampingku.

 

“Beep-beep.. .”

 

Suara penyeranta di saku celanaku berbunyi.

 

Dari mama:

“Obat pagi, Jongga sayang.”

 

Lihat selengkapnya