Jalan Pulang

Kenya Indrasti M
Chapter #6

Di Kantor Majalah

Kami tiba di halaman depan gedung kantor itu. Seorang satpam menganggukkan kepalanya pada Adhi lalu kembali berbicara lewat radio komunikasi, menyahuti suara yang diselingi bunyi gemeresak.

 

“Kijang dua… kijang dua…” ujar Adhi ke arah satpam itu sambil tertawa.

 

Aku ikut tersenyum, mengingat kata-kata itu di sebuah adegan film komedi jaman dulu.

 

“Jongga, sebentar ada yang mau kuperiksa sebelah sana,” Adhi berjalan lebih cepat ke tempat parkir yang luas. Aku melangkah pelan di belakangnya, sambil mengamati. Pria canggung itu mengarahkan remote dan membuka pintu mobil mewah yang terparkir tidak jauh dari tiang bendera.

 

“Mas Adhi bawa mobil, tapi tadi naik bus?” tanyaku ketika Adhi sudah kembali menjajari langkahku.

 

“Hehe.. iya, aku lupa, Jong. Kemarin kesini naik mobil, tapi pulang naik bus. Jadi hari ini aku sengaja kemari lagi ambil mobil,” Adhi tertawa malu.

 

Orang yang aneh, pikirku. Tapi bukankan setiap orang aneh bagi orang lain? Karena setiap kita berbeda.

 

Tapi superman yang satu ini lebih ke arah canggung, sebenarnya. Seperti aku.

 

Kemudian kami berjalan masuk, pintu terbuka otomatis, meruapkan udara sejuk bercampur aroma kertas dan tinta. Melewati ruangan dengan aktivitas kubikel super sibuk.

 

“Kita naik ke lantai tiga yuk..” aja Adhi.

 Lewat tangga manual, di lantai dua sempat kulihat sebuah studio di kejauhan, dengan backdrop putih, dan lampu sangat terang menyorot seorang model yang rambutnya tertiup angin dari kipas elektrik.

 

“Selamat pagi.. “ Adhi menyapa seorang perempuan berambut panjang yang diikat dan disampirkan ke bahu kanan. Seperti gadis Bali.

 

“Adhi.. kamu bawa berita yang kamu ceritakan tadi malam?” tanya perempuan itu.

 

Adhi menjawab dengan menepuk tas ranselnya, “Kenalin ini Jongga, tulisan dia bagus.. semacam campuran cerita detektif dan filosofi hidup tapi dengan gaya ringan..”

 

“Oh, Hai Jongga..! Wah, boleh-boleh.. . Nanti aku kontak rekanku yang pegang rubik ‘Melukis Langit’ ya.. mereka garap konsep dengan ide-ide seperti itu.”

“Wah.. terimakasih mbak, nama rubiknya unik juga,” aku menjawab sapaannya yang tidak terlihat ramah, tapi tulus itu.

 

“Iya, menampung pikiran orang-orang yang unik, dan ternyata banyak juga yang seperti itu. Macam kekuatan super yang dimiliki orang-orang yang kita anggap manusia biasa,” ujar perempuan kuncir samping itu. Kemudian berbicara dengan Adhi di mejanya, dia terlihat senang ketika Adhi tidak hanya memberikannya disket yang ditanyakan tadi, tapi juga sebuah bingkisan dalam tas kertas bercorak nuansa halus bunga-bunga, besar dan kecil.

 

“Ngomong-ngomong tentang kekuatan super, aku sendiri awalnya melihat Mas Adhi tadi di bus sangat yakin dia seorang superman.. ternyata benar-benar bekerja di kantor majalah, seperti Superman bekerja di kantor surat kabar..” kelakarku. Ketika mereka berdua sudah selesai dan kembali menghampiriku.

 

Mereka berdua melihat ke arahku dengan pandangan sedikit bingung.

 

Lihat selengkapnya