Jalan Pulang

Kenya Indrasti M
Chapter #8

Ungu

Akhir-akhir ini, suasana kampus terasa panas, tidak lama setelah ramai-ramai di tukang bubur ayam tempo hari aku makan bersama Adhi. Sepertinya orang-orang disana benar-benar tersulut dan bergerak merealisasikan apa yang mereka perdebatkan.

 

Bus besar mengangkut mahasiswa yang menggunakan jaket almamater, ikat kepala dan spanduk-spanduk dengan tulisan ancaman berapi-api. Mereka berteriak-teriak semangat, tidak peduli matahari yang menyengat. Rasanya seperti melihat langsung apa yang biasanya ada di buku sekolah, mata pelajaran sejarah.

 

Awalnya aku tidak tertarik untuk ikut, sampai suatu hari, aku melihat sosok ajaib bewarna ungu. Teringat dua sahabatku yang dulu, Lilac dan Violet, kehadiran sosok ajaib ini jelas memunculkan perasaan bahagia.

Kulihat isi dalam kotak biru, hitungannya benar, artinya aku tidak lupa meminum obat-obat penopang kesadaranku itu.

 

Makhluk itu melompat ke dalam bus yang membawa rombongan mahasiswa menyuarakan aspirasinya.

 

Kulihat dia muncul lagi, kali kedua di kampus, dengan rombongan yang sama. Aku memutuskan untuk mengikutinya. Sepanjang perjalanan aku diam berada di baris ketiga dari belakang, memperhatikan sambil menimbang apa aku gila, melakukan ini semua. Ini kelompok penggerak yang pemberani, dan tidak ada satupun temanku di sini.

Ya, sebenarnya aku memang tidak pernah benar-benar memiliki teman.

Beberapa orang yang kusebut sebagai teman, hanya ada ketika memerlukanku, atau memang kami saling membutuhkan. Seperti ikut menumpang mobil, buatku itu bagus karena jika ada yang mengajak berbicara, bisa terus membuatku benar-benar sadar.

Mereka juga ikut menemaniku makan siang, yang seringkali aku mentraktir dengan senang hati, karena ditemani itu jauh lebih menyenangkan untuk manusia sepertiku, yang selalu merasa kesepian.

 

“Jongga? Lo ikut demo?” tanya sebuah suara di tengah keramaian yang membuat kepalaku sakit. Salah satu teman kampus yang wajahnya familiar, tapi aku tidak pernah tahu kalau dia ternyata mengenalku.

 

“Iya, untuk tulisan..” sambil mengacungkan agenda aku menjawab, setelah melihat sekilas ke arah sosok ajaib yang membuatku memutuskan ikut berjalan bersama kelompok aktivis mahasiswa ini.

 

Pemuda yang bertanya tadi hanya mengangguk dan mengangkat ibu jarinya.

 

Rombongan ini masuk ke sebuah bangunan yang tampaknya mereka sewa untuk saling bertemu dan berdiskusi tentang pergerakan yang akan mereka lakukan.


Mahluk ajaib itu terlihat memasuki ruangan dengan cekatan. Tak ingin ketinggalan, aku menyeruak dan mencoba menyusulnya.

 

Tapi dia tidak terlihat dimana-mana.

 

Aku duduk, mengambil tempat di sudut, kemudian merogoh saku dalam tas, menggenggam kotak bewarna biru. Sambil menyalakan telepon selulerku. Papa memang langsung mengirimkan yang baru ketika tahu aku kecopetan di bus beberapa waktu lalu. Setelah itu, ada ultimatum dilarang menggunakan kendaraan umum.

“Lalu apa?” Tanyaku ketika papa menelepon.

Aku ingin tahu apa yang akan beliau lakukan jika aku melanggar. Mencabut telepon genggam? Mereka akan kesulitan memantauku. Menahan mobil? Justru itu yang aku inginkan.

 

Akhirnya, papa mempekerjakan supir untuk mengantarku kemanapun. Bukan sekedar supir, sepertinya dia merangkap bodyguard. Selalu memakai kaca mata hitam, tidak banyak bicara kecuali dengan alat komunikasi yang disemat di telinganya – memberi laporan pada papa.

 

Bodyguard itu bahkan menungguiku saat kuliah, berdiri di luar pintu. Seandainya saja aku bisa seperti spiderman, menyelinap lewat jendela, dan merambat di dinding lantai tiga, berayun ke bawah, atau gedung di sebelah.

 

Hari ini, ketika istirahat tadi, aku duduk-duduk di taman tengah kampus, dan berhasil lepas dari pengawasan si bodyguard – lalu membaur dalam barisan mahasiswa. Setelah sebelumnya aku sembunyi-sembunyi meminta seseorang yang postur tubuhnya mirip denganku, memakai jaket dan topi baseball-ku, kami bahkan bertukar sepatu.

 

Dan sekarang disinilah aku, mengejar makhluk ajaib berambut ungu yang kini lepas dari pandanganku, di tengah riuh rendah suara dan gendang yang bertalu-talu.

 

Aku kelelahan, dan obat-obat itu tidak bisa kutenggak sebelum aku makan. Telingaku mulai berdenging, aku tahu siapa yang akan muncul sekarang. Perempuan gila dengan wajah bengis, mata memerah, mengayun-ayunkan gergaji besi. Aku sudah mengenalnya sekian lama, dan aku mulai tahu persis dia hanya ada dalam kepala. Tapi tetap saja, aku ingin berteriak dan tidak pernah bisa menahannya.

Lihat selengkapnya