Pagi hari, aku mengaktifkan telepon selular ku. Ratusan voicemail masuk bertubi-tubi. Dan sebuah panggilan telepon setelahnya.
“Jongga..”
“Papa”
Napas berat dan panjang terdengar di seberang sana, “Aktifkan handphone mu.. kamu membuat semua orang khawatir!”
“Ok, tapi tolong antarkan mobil dan minta supir itu pergi. Jongga bisa menyetir sendiri,” jawabku datar sambil menyebutkan sebuah pusat pertokoan. Dimana si bodyguard bisa mengantarkan mobilnya.
“Sedang apa kamu disana?!” Suara papa meninggi namun segera diredakannya.
“Jongga mengantar teman.. lalu kemalaman,” jawabku jujur.
Papa tidak pernah bicara panjang lebar. Beliau hanya berkata, “Ya, baiklah. Jangan lupa nyalakan handphone nya.” Kemudian telepon ditutup.
Aku heran, kenapa para orang dewasa menutupi sesuatu seolah aku anak kecil yang selamanya tidak bisa mengerti ataupun punya rasa curiga.
Selepas mandi dan sarapan, aku menuju pusat pertokoan yang kusebutkan. Membeli beberapa potong baju, sepatu, mengambil mobil kemudian menuju rumah Ungu, setelah meneleponnya pagi-pagi, seperti janjiku malam tadi.
Ungu tampak sedikit terkejut melihatku berdiri di depan rumahnya dengan penampilan istimewa dan mobil eropa seri terbaru.
“Kamu darimana?” tanyanya.
“Bukan.. tapi, kita mau kemana?” aku balik bertanya.
“Aku gak tau harus pakai baju apa.. kamu keren banget gitu kaya mau shooting video klip!” Ungu berkata apa adanya dan tertawa lepas seperti biasanya, sama sekali tidak terintimidasi atau silau dengan penampilanku.
“Kalau kamu gak keberatan, aku bawakan buat kamu biar kita bisa kembaran..” jawabku.
Mata Ungu membelalak.. membuka tas belanja dan melihat isinya. Sepatu yang sama denganku dan juga warna baju senada.
“Semoga nomornya pas..”
Ungu mencobanya, “Kok bisa tau?” dia terheran-heran ketika mencoba sepatu keds yang pas di kakinya.
“Tebakan tepat kalau begitu..” jawabku. Padahal, semalam, ketika Ungu masuk ke dalam rumah, aku mengintip nomer sepatunya yang ditinggalkan di depan pintu.
Dia berjalan bolak-balik.