Aku terdiam mendengar kata-katanya. Kegetirannya begitu terasa.
“Entahlah kapan aku bisa memaafkannya, ..ayahku. Namun hati kecilku selalu marah jika melihat wajahnya. Seharusnya dia bisa lebih kuat dari itu, berjuang demi ibu, demi keluarganya. Ibu sudah cukup banting tulang sendirian, menafkahi adik-adiknya, juga nenek. Ditambah lagi perilaku ayah yang tidak pernah bisa memberikan apa yang seharusnya ibu dapatkan..” Ungu menghela napas panjang.
“Maaf ya.. aku membuat suasana jadi muram..” ujarnya lagi.
“Tidak perlu minta maaf, kamu bisa cerita apa saja dan menjadi dirimu apa adanya..” jawabku tersenyum penuh simpati.
“Paling tidak, kamu seharusnya merasa lebih beruntung.. aku tidak pernah tahu apa yang terjadi pada keluargaku. Orangtuaku tidak berpisah tapi aku yakin mereka tidak bersama, sejak lama. Entah kenapa mereka menjalani hidup seperti itu. Sempat terpikir, ini mungkin karena keadaanku..”
“Hei.. jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu. Memaafkan adalah hal yang tidak mudah dilakukan, dan memaafkan diri sendiri itulah yang terberat. Tapi bukan hal yang tidak mungkin..” Ungu memotong perkataanku.
“Bisa kamu beritahu aku, bagaimana caranya?” tanyaku
“Sepertinya lucu kalau aku memberitahumu, karena aku sendiri masih belum bisa memaafkan orang lain.. . Tapi aku pernah mendengar, dari nenek kalau kita semua sebenarnya pernah hidup sebelumnya. Jika ingin tahu siapa kita dahulu, kuncinya hanya satu, menerima apa yang kita dapatkan di kehidupan kita kali ini. Karena, apa yang kita terima sekarang adalah balasan dari apa yang kita kerjakan dulu..” Ungu bercerita sambil menatap ujung dahan pohon besar di depan tempat kami duduk.
“Jadi, aku seharusnya bisa memaafkan diriku sendiri karena ini semua adalah balasan dari apa yang kulakukan di kehidupan yang lalu?” tanyaku.
“Kurang lebih begitu. Itu cara nenekku hidup, menerima. Makanya beliau hidup sehat dan bahagia… ,” Ungu tertawa kecil dan melanjutkan, “Nenek bilang, ada tiga hal yang berat bagi manusia, yaitu memberi, menerima dan melepaskan. Ketika kita sudah bisa memaknai semua itu.. maka kita akan bisa hidup dengan tenang.”
Aku terdiam.
“Mungkin aku belum melihat apa untungnya bagiku..” Ungu melanjutkan.
“Maksudmu untungnya memaafkan ayahmu?” tanyaku.
“Iya. Bukankah manusia adalah makhluk untung rugi? Selalu memiliki motif, menimbang apa untungnya bagi dia, dalam melakukan tindakan apapun..” ujar Ungu.
“Aku tidak setuju, Ungu. Ada juga manusia yang melakukannya tanpa berharap imbalan apapun..” bantahku.
“Benarkah? Yang kumaksud motif tadi tentu tidak terbatas materi. Bisa jadi dia berharap imbalan dari sebuah kekuatan diluar dirinya, misalnya rasa tenang, bahagia. Ah, sial.. apakah aku sebenarnya telah menjawab pertanyaanku sendiri?” Ungu menegadahkan kepalanya ke langit yang tampak cerah.
“Kalau kamu sudah menyadarinya, pasti semua hanya masalah waktu. Saatnya akan datang. Memaafkan ayahmu bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk dirimu sendiri..” lanjutku.
“Bagaimana denganmu dan kedua orangtuamu?” tanya Ungu pelan.
Aku mengangkat bahu sekilas, “Perjalananku untuk sampai pada kesadaran seperti kamu sepertinya masih sangat jauh. Karena biasanya, obat-obatan yang membuatku tenang, bukan mereka. Dan saat ini, kehadiranmu..” Aku melirik Ungu sekilas. Dia masih menatap langit dan mengerjapkan mata. Tapi aku yakin dia mendengarnya.
Kami terdiam.
Lama.
“Berat, ya?” tanya Ungu.
Aku hanya tersenyum sambil melihat ke arahnya.
“Eh, coba sini…” tiba-tiba Ungu menarik tanganku sambil kembali berbicara dengan nada ceria. Dia benar-benar pagi-ku. Cerah dan sejuk.
“Tau gak, katanya, nama jodoh kita sudah ditentukan sejak kita dilahirkan ke dunia ini. Dan inisialnya dituliskan di guratan ibu jari kita.. “ Gadis itu meluruskan ibu jari kirinya dan melihat ke arahku.
“Apa yang tertulis disitu?” tanyaku sambil ikut melihat dari dekat.