Ungu sudah menunggu di taman tengah kampus dan melambaikan tangan ke arahku. Satu minggu sejak kami pergi bersama ke taman, hari ini kembali melihat wajahnya terasa sangat menyenangkan.
“Kamu sudah sarapan?” tanyaku.
Ungu mengangkat sebungkus cemilan bernutrisi yang sudah hampir habis, “Ini..” jawabnya.
“Masih lapar gak? Aku bawakan ini..” ujarku sambil membuka bekal yang disiapkan Mbok Nah tadi.
“Gilaa.. ini sih pestaaa” Ungu mengambil sumpit dan mencicipi dengan rapi setiap jenis masakan Mbok Nah.
“Kamu suka? Mau aku bawakan setiap hari?” Aku senang melihat Ungu terlihat lahap menyantap makanan yang kubawa.
“Ini enak banget Jongga..! Di rumahku, nenek yang memasak.. enak juga. Tapi yang ini istimewa, asli!” tukasnya sambil terus mengunyah.
“Aku belum pernah dengar cerita tentang nenekmu…” lanjut Ungu.
“Ketika kecil dulu, disaat aku sakit namun sangat merindukan pergi ke rumah nenek. Aku selalu membayangkan bisa pergi sendiri kesana. Karena kusulap semua jalanan menjadi kasur nyaman yang sangat panjang, dari rumah kami sampai depan pintu rumah nenek. Aku tinggal berguling-guling untuk tiba disana..” aku bercerita.
“Sekarang kasur itu ada disana..” Ungu menunjuk ke arah seberang taman.
“Ya.” Jawabku singkat.
“Apa warnanya?” tanyanya lagi.
“Putih, halus seperti awan..” ujarku. “Dulu, ketika aku mulai menaikinya dan berguling.. terus dan terus.. aku akan sampai ke rumah nenek. Biasanya aku akan mendarat di taman belakang dekat danau.. atau di perkebunan teh kakek..”
“Lalu?” tanya Ungu tanpa nada memaksa.
“Aku tidak pernah tahu, apakah aku benar-benar sampai disana.. atau aku memang sedang berada disana. Semua tampak begitu nyata dan menyenangkan. Nenek akan menungguiku berlari lari sampai aku letih. Aku senang berlari lapangan luas, udara terasa segar membelai wajahku, dan rambutku menampar-nampar ketika aku berlari lebih kencang..”
Ungu tersenyum.
“Oh ya, mau baca tulisanku yang disetujui redaksi?” tanyaku sambil membuka map berukuran kertas folio.
“Mau dong.. mana..?” Ungu membuka lembaran yang dibatasi penanda bewarna kuning dan mulai membaca sedikit keras hingga aku bisa mendengarnya.
“Pikiranku terkadang seperti semesta tak bertepi.. membawa ke relung-relung menyeretku dalam ketakutan, kekhawatiran. Seringkali aku tersiksa dalam pikiran yang terasa begitu nyata, di waktu lain.. dalam kenyataan yang ada dalam pikiran. Semua melebur jadi satu, tanpa batas, membuatku larut dalam kebingungan. Semakin lama aku bagai kayu, dengan anai-anai menggerogoti akal sehatku..” Ungu berhenti membaca dan menelan ludah, tenggorokannya seperti tercekat.
Gadis itu menatapku penuh tanya, “Apakah ini yang selalu kamu rasakan, Jongga..?”
Aku mematung, entah harus menjawab apa. Aku tidak ingin Ungu merasa takut dengan keadaanku yang sebenarnya hingga membuatnya pergi. Tapi sisi lain diriku ingin Ungu mengetahui semua, apa adanya.
Hingga akhirnya aku merasa gadis itu mendekat, gerakannya yang perlahan membuat jantungku berpacu. Dia mengecup pipiku.
Sampai disitu, aku merasa tidak membutuhkan lagi obat-obatan di kotak biru.
Aku merasa merdeka, bebas dari segala belenggu.