“Ayah pulang, Bunga..” Adhi menyapa seorang anak gadis berusia 19 tahun yang tampak tidak terlalu peduli dengan kedatangannya.
Gadis berambut ungu itu menyalami Adhi kemudian masuk ke dalam kamarnya, berganti baju, memakai lensa kontaknya yang bewarna ungu. Tak lama kemudian pamit keluar.
“Mau kemana, Bunga?” tanya Sabi.
“Jalan-jalan, bu.. cari udara segar..” jawab gadis itu singkat. Seolah ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman disana. Adhi tahu persis, sesuatu itu adalah dirinya.
***
Buana mengangkat telepon dengan kode nomer tertera di layarnya.
“Bubur ayam pak, pakai kecap?” terdengar suara di seberang.
“Sambal dipisah. Semua diaduk..” Buana menjawab kode rahasia barusan. Anak buahnya yang menjadi pedagang bubur, mangkal di sebuah kampus, menggantikan posisi rekannya yang sudah bergiliran bertugas disana dengan pergantian lima tahun sekali.
“Titik-titik penting sudah berhasil diduduki, tinggal menunggu perintah.”
Kemudian Buana menyebutkan nama satu daerah. Anak buahnya menjawab dengan siaga,
“Laksanakan!”
Dia tidak berada di luar negeri seperti yang dikatakannya pada Karina, namun ada pergerakan bawah tanah yang harus diselesaikannya siang hari ini.
***
Jongga duduk di bawah pohon yang sama ketika dia datang bersama Ungu, dalam rasa kalut dan bingung. Ditambah pemandangan di sekitarnya yang janggal, banyaknya orang-orang memakai seragam SMA berjalan berbondong-bondong menuju pusat pertokoan. "Mereka bukan anak sekolah. Yang mana yang nyata dan mana yang ilusiku saja?" Pikirnya, gusar.
Sedangkan Adhi tertegun menatap anak semata wayangnya pergi menghindarinya, sedangkan dia tengah ingin memeluknya, setelah kabar anak satu-satunya itu tertangkap dan kini bisa kembali pulang ke rumah.
Akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi seseorang yang juga memiliki tempat di hatinya, sambil mengambil kunci mobil. Berkendara kemana hatinya berkata. Meskipun Sabi melarangnya, karena wajah Adhi yang putih dan bermata sipit rawan berada di keramaian, akhir-akhir ini.
“Jong..” suara Adhi di telepon.
“Mas Adhi..”
Dalam bahasa yang tidak terkatakan, keduanya bisa saling mengerti apa yang tengah mereka rasakan masing-masing.
“Rasa sakit. Terkadang kita memperlakukannya dengan tidak adil..” Adhi memecah keheningan. Jongga masih terdiam.
“Kita selalu menolaknya dengan berbagai cara, dengan segenap tenaga, dan seluruh jiwa raga. Hingga menimbulkan rasa kesal, marah, kecewa..” lanjut Adhi. “Mengapa kita tidak berusaha untuk menerima rasa sakit itu?”
“Karena akan terasa menyakitkan, mas..” jawab Jongga.
“Terima saja rasa yang menyakitkan itu. Biarkan jiwa dan raga kita mengenalinya.. .”
“Lalu apa yang akan terjadi?”
“Manusia adalah makhluk yang paling adaptif. Ketika kita telah mengenali rasa itu, maka tidak akan terlalu mengganggu lagi. Mungkin rasanya tetap sakit, tetapi tidak membawa serta munculnya emosi marah, kesal dan kecewa..”