Dalam hitungan detik keduanya berdiri dengan sikap awas. Jongga teringat sesuatu, tadi Adhi mengatakan dia akan menunggu Jongga tidak jauh dari sana.
“Mas Adhi!” teriak Jongga.
“Jongga, kamu harus tetap tenang..” Ungu mengingatkan.
“Pusat pertokoan dekat sini, kita cari kesana..!” Jongga menggamit tangan Bunga, kemudian berlari secepatnya.
***
Klender, 15 Mei 1998.
Kerusuhan.
Orang-orang berteriak, berhamburan bagai anai-anai tertiup angin. Seperti yang sering muncul dalam pikiran Jongga. Menyebar cepat, menggerogoti akal sehatnya.
Api besar membakar pusat pertokoan, orang-orang menjarah dengan bringas. Mereka seperti bukan manusia lagi, menjelma makhluk yang tak punya hati.
“Berhenti! Kita tidak bisa kesana!” Bunga menarik tangan Jongga.
“Aku harus mencari Mas Adhi! Dia di sekitar sini!!” Jongga berusaha keras mempertahankan kesadarannya. Dorongan ketidaksadarannya nyaris tak terbendung lagi.
“Bunga Ungu.. menjauhlah dariku, aku akan menjadi sesuatu yang tidak bisa kaunalar lagi.. karena halusinasiku mulai menguasai..” terengah, Jongga berkata putus-putus.
“Apa maksudmu?! Ayo kita pergi dari sini, kita pulang! Jongga dengar aku! Kita pulang sekarang!!”
Di tengah kesadarannya yang tinggal setipis warna biru di langit senja, dia melihat Adhi di kejauhan. Diserang orang-orang yang bertubuh kekar. Adhi berwajah oriental, yang diserang habis-habisan tanpa alasan.
“Ungu, ke taman! Cari tempat berlindung! Aku akan kembali padamu!”
Setelah mengatakan itu, Jongga berlari, menghilang di tengah kekalutan yang tengah terjadi. Bunga menyerah, dan berlari menjauh setelah matanya tidak berhasil mendapatkan Jongga.
Tiang-tiang rubuh, pecahan kaca dari pertokoan yang dibobol berserakan, Jongga mengambil sebatang besi dan menghantam sekelompok orang yang menyerang Adhi.
Kita tidak akan pernah bisa mengukur kekuatan seseorang yang nyaris kehilangan kesadarannya.
“Cukup, Jongga.. ayo kita pergi!” dengan tertatih, Adhi berusaha menghentikan Jongga yang mengamuk pada sekelompok orang itu, yang sekarang berlari menyelamatkan diri.
Dari sebuah mobil besar, Jongga melihat laki-laki dengan senapan laras panjang yang biasa muncul di alam halusinasinya menyarangkan bidikan ke arah Adhi. Sedetik sebelum dia menarik pelatuk, Jongga melompat dan membuat Adhi roboh ke tanah bersamanya.
“Jongga!!!!!” Adhi berteriak, menyadari apa yang baru saja terjadi.
Mobil besar dengan orang-orang bertubuh kekar itu menderu, meninggalkan asap knalpot yang memedihkan mata. Bau mencekam, bensin dan asap kebakaran. Adhi membalikkan badan Jongga yang roboh di punggungnya.
Cairan pekat bewarna merah, bahkan sebelum memegangnya, Adhi sudah bisa melihat gambaran itu di kepalanya. Tubuh Jongga yang menghentak ketika menyergapnya dari belakang, tubuh yang menahan timah panas untuk melindungi dirinya.
Jongga tertembak.
Adhi memapah Jongga ke taman dimana Bunga menunggu. Diam-diam tadi, Adhi mengikuti Bunga pergi, karena rasa khawatir, terlebih setelah kejadian kemarin. Dia hanya berusaha melindungi semampunya sebagai seorang ayah.
Adhi juga telah melihat semuanya, bahwa gadis yang dicintai Jongga adalah Bunga, anak semata wayangnya. Meski dia tidak tahu jika sekarang Bunga tengah menunggu Jongga disana.
Dari kejauhan, Bunga berlari menghampiri mereka.