"Menjadi pohon," jawabku penuh percaya diri. Namun, kerutan di dahi Bu Jumi, guru Bahasa Indonesia, seolah mengisyaratkan bahwa jawabanku salah. Aku menarik napas dan meremas rok merah seragamku dengan sepuluh jari.
Setelah menghembuskan napas perlahan, aku kembali menatap Bu Jumi dengan keyakinan.\
"Semakin besar pohonnya, semakin banyak ia menghasilkan oksigen. Semakin kuat akarnya, semakin tinggi menjulang dan rimbun pohon itu. Bahkan, ia bisa berbuah."
Aku terdiam, mengatur napas sembari memperhatikan teman-temanku. "Saya tidak tahu cita-cita saya ke depan apa,Bu …" kataku sambil menoleh ke arah Bu Jumi. Kerutan di wajahnya kini berganti menjadi tatapan penasaran.
"Tapi, saya ingin seperti pohon yang kokoh berdiri, akarnya mengikat dalam tanah, daunnya rimbun, dan mampu menyegarkan udara di sekelilingnya. Saya ingin menjadi tempat berteduh yang penuh kehidupan, dengan buah-buah yang dapat dinikmati oleh banyak orang." Aku tersenyum menatap Bu Jumi yang bibirnya masih membentuk huruf O.
"Wow ... jawaban yang bagus, Sera. Ibu sangat terkesan. Semoga cita-citamu tercapai, ya..." Bu Tia berjalan mendekat, mengelus pundakku, lalu meminta teman sekelas bertepuk tangan sebelum memerintahku untuk duduk dan memanggil urutan murid berikutnya. Bu Jumi tidak tahu saja kalau menjadi pohon itu terinspirasi dari khotbah guru sekolah minggu yang paling kuingat.
Dua puluh tahun kemudian...
"Jadi, saya gila, begitu?!" tanyaku kepada seorang wanita berwajah keibuan, psikolog yang baru seminggu ini kutemui.
Bu Diah menggelengkan kepala. "Jangan suka melabeli diri sendiri, Sera, karena pada kenyataannya manusia itu dinamis." Sungguh, jawaban yang tidak menenangkanku.
"Tenang saja, ini biasa dialami oleh orang-orang yang cerdas. Bersyukurlah kalau kamu terpanggil untuk konsultasi. Itu berarti kamu sadar bahwa ada yang salah dalam diri dan kamu ingin memperbaiki." lanjutnya.
"Bu, apa saya bisa sembuh seperti semula? Itu yang paling penting. Masih banyak hal yang belum saya capai, Bu. Saya perlu bekerja lebih giat, punya ini itu, berkarir seperti orang lain, karena saya tulang punggung keluarga, dan saya—" Aku tidak mampu melanjutkan ucapanku bahwa aku tidak punya siapapun sebagai sandaran, karena air mataku terlanjur tak terbendung.
"Fokuslah pada apa yang terjadi saat ini, Sera. Fokus dulu kepada dirimu sendiri. Masalah mental itu holistik, tidak bisa diatasi secara terpisah, harus menyeluruh agar tercapai homeostasis."
"Intinya saya bisa sembuh, kan, Bu?"
Bu Diah menatapku beberapa saat. "Menurutmu, apa itu sembuh?" Bukannya menjawab, Bu Diah justru bertanya balik.
"Ya, saya kembali normal seperti dulu," jawabku dengan suara bergetar.
"Normal yang bagaimana?"
Ini bagaimana sih? Beliau kan psikolog, kok dari tadi hanya membalikkan pertanyaan terus?
"Ya, saya tidak gampang cemas lagi, saya berani ke mana-mana sendiri. Serangan paniknya tidak lagi muncul. Intinya kembali seperti sebelumnya."
Tubuhku kian gemetar, menahan rasa tidak terima mengapa harus aku yang mengalaminya?
Kali ini, Bu Diah menatapku beberapa saat. Aku berharap beliau tidak lagi membalikkan pertanyaan atau memberi pertanyaan baru. Jelas-jelas aku datang ke sini dengan mengumpulkan semua keberanian dan bayar mahal demi mendapat jawaban, bukan terus diberi pertanyaan.
"Coba ingat-ingat lagi, apa sepanjang hidup kamu, kamu tidak pernah merasa cemas dan takut?"
Haruskah pertanyaan seperti ini dijawab? Ya, semua orang pasti pernahlah. Tapi, kan yang aku alami beda... kenapa muter-muter terus sih?