Hujan rintik-rintik mengetuk jendela kamar tidurku. Udara lembap dan dingin mencerminkan suasana hatiku yang mendung dan penuh kegelisahan. Aku duduk di sofa-bed tua yang lembek, dikelilingi tumpukan buku dan catatan yang belum tersentuh, seolah-olah semua benda di sekelilingku turut terperangkap dalam kebingunganku.
Aku menatap foto-foto lama di dinding—potret dari masa lalu yang penuh kenangan indah. Setiap gambar menceritakan kisah tentang diriku yang percaya diri, antusias, ceria, dan penuh harapan. Namun, semua itu kini terasa seperti kenangan asing. Rasa cemas dan ketidakpastian yang menggelayuti pikiranku sulit disingkirkan.
Satu foto menarik perhatianku. Foto itu adalah potret diriku di sekolah dasar, berdiri di depan kelas dengan senyum lebar dan binar mata penuh semangat. Di bawah foto itu, tertulis "Sera, si Pohon, 10 Tahun." Aku teringat kembali pada hari itu, saat aku mengungkapkan cita-citaku untuk menjadi seperti pohon—kuat dan bermanfaat bagi orang lain. Jawabanku saat itu dianggap sebagai ungkapan idealis seorang anak. Sekarang, aku bertanya-tanya apakah cita-citaku pernah benar-benar terwujud? Aku tertawa kecut.
Aku memilih bangkit dari sofa, memutuskan untuk melakukan hal yang diajarkan oleh Bu Diah: mengakui dan menerima. Aku tahu bahwa jika ingin melangkah maju, aku harus menerima dan memaafkan masa laluku beserta rasa sakitnya. Namun, aku bingung bagaimana memulainya. Kuambil pena, dan kutuangkan perasaanku saat ini.
Hujan membuatku merasa seperti hidup di dalam kabut yang tidak pernah benar-benar hilang. Setiap tetes airnya seolah menetes di atas kepalaku, menambah beban yang sudah teramat berat. Aku mengingat masa kecil yang penuh dengan cita-cita. Bagaimana aku ingin menjadi seperti pohon—kuat, memberi manfaat, dan bisa bertahan dalam segala cuaca. Namun, yang terjadi sekarang, jangankan menjadi pohon yang mengakar kuat, melawan ketakutanku sendiri saja aku berkali-kali gagal. Rasanya semua mimpiku mustahil untuk digapai.
Aku berhenti menulis sejenak dan melempar pena sembarangan, saat tubuhku kembali gemetar. Meskipun tahu ini hanya sensasi yang perlahan akan hilang, aku tetap saja gagal menguasai diriku sendiri. Apalagi, saat sekujur tubuhku perlahan terasa dingin, jantungku berdetak cepat, dan napasku mulai terasa berat, aku tetap saja panik, ancaman akan kematian ini selalu berhasil menguasaiku. Satu-satunya cara yang bisa kulakukan sekarang hanyalah segera menuju kasur dan mengambil selimutku, sejauh ini selimut dan kasur terbukti menjadi tempat teramanku. Aku memilih berbaring serta memejamkan mata, berusaha mengatur napas dan berucap dalam hati bahwa aku dalam keadaan aman serta semua akan baik-baik saja.
Sekitar lima menit kemudian, jantungku mulai kembali normal, dan napasku tak lagi tersengal, menyisakan tubuh yang lemas tak berdaya. Lagi dan lagi, aku selalu mengakhiri serangan panik ini dengan tangisan rasa tidak terima. Tidak terima karena rasanya semua harapan dan mimpiku hancur. Cita-cita yang dulu begitu berarti kini terasa seperti mimpi yang mustahil terwujud. Perasaan terjebak dalam lingkaran kegagalan membuatku sulit melihat jalan keluar. Bahkan pertanyaan kenapa aku selalu diancam oleh ketakutan diriku sendiri membuatku hampir gila.