Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #3

3. Jejak Luka Masa Lalu

Matahari pagi menyelinap melalui celah tirai kamar, membangunkanku dengan lembut dari tidur yang tidak nyenyak, masih dihantui rasa cemas tanpa sebab dan jantung berdebar yang membuatku sesak napas. Cahaya hangat itu seolah mengajak pikiranku kembali ke masa lalu, ke salah satu momen yang tidak pernah terpikirkan olehku, yang ternyata ikut menorehkan jejak luka mendalam di bawah sadarku.

Saat itu, usiaku sekitar delapan tahun, mungkin kurang dari itu, dan Arga baru sekitar lima tahun. Aku ingat sekali, kami baru memiliki sofa baru, seingatku Ayah baru mendapatkan rezeki dari pekerjaan lepasnya. Sebagai keluarga menengah ke bawah, memiliki salah satu perabotan yang menurut kami mewah di zaman itu tentu rasanya sangat menyenangkan.

Aku tersenyum sendiri saat mengingat ingin segera pulang untuk sekadar duduk atau tiduran di atas sofa empuk itu, karena sebelumnya meja kursi kami adalah kayu yang sangat keras dan sedikit dimakan ngengat. Sayangnya, Ibu selalu melarangku dan memarahiku jika aku duduk lama-lama di sana dengan alasan nanti kotor, seolah aku adalah anak yang tidak paham kebersihan, jadi aku tetap saja sering duduk di lantai. Berbeda dengan Arga, yang selalu dibiarkan saja, bahkan saat ia mencecer semua crayonnya di meja. Menumpahkan kuah sup atau air putih, Ibu selalu mengatakan “tidak apa-apa” atau bahkan diam saja. Sebagai seorang anak yang belum mampu memahami situasi, apalagi memproses emosi, tentu perasaanku saat itu campur aduk, sedih, marah, tidak terima dengan pertanyaan berulang, “kenapa Ibu sangat membedakan kami?” padahal aku juga anaknya, aku juga tahu bagaimana menjaga diri supaya sofa itu tidak kotor.

Beberapa hari kemudian, Arga melepas celana panjangnya dengan posisi duduk di atas meja. Aku sudah bilang jangan di sana nanti Ibu marah, dan mejanya bisa mengguling, tetapi Arga seolah tidak peduli, tetap saja ngotot melepas celana panjangnya, dan seperti dugaanku, mejanya terguling sampai kacanya pecah. Ibu berteriak dari arah dapur, memarahiku yang tidak bisa menjaga adikku, kata-katanya kasar, sampai menunjuk-nunjuk, rasanya sesak sekali di dada.

Sangat kontras dengan perlakuan Ibu ke Arga, Ibu sama sekali tidak memarahinya. Ibu memilih memeluk Arga dan memastikan kalau ia tak terluka, sedangkan aku menatap mereka dengan tangis terisak, mengharapkan pelukan yang tidak pernah diberikan oleh Ibu. Aku berdiri terpaku, menyaksikan Ibu yang terlihat begitu mengkhawatirkan Arga, sedangkan aku merasa diabaikan dan terlupakan. Meski tahu itu bukan salahku, hatiku tetap sakit melihat betapa besar perbedaan perlakuan Ibu terhadap kami berdua. Sejak hari itu, aku mulai merasakan adanya dinding yang tumbuh di antara kami, dinding yang semakin hari semakin tinggi. Apalagi, beberapa hari kemudian, Arga justru mendapatkan hadiah mobil kesukaannya, entah apa alasan Ibu.

Sejak saat itu, tanpa sadar, aku tumbuh menjadi seseorang yang ambisius, hanya demi mendapatkan pengakuan dari Ibu. Sayangnya, sampai sedewasa ini, aku tidak pernah mendapatkan itu. Yang aku dapatkan hanyalah omelan dan perasaan selalu diremehkan.

***

“Bagaimana? Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Bu Diah dengan tatapan lembutnya. Ini adalah pertemuan kesekian kali yang sudah membuatku harus merelakan cincin kesayanganku untuk dijual demi membayar konsultasi ini dan konsultasi mendatang.

Aku menggeleng. “Sama saja, Bu.”

“Coba sekarang, baca kembali jurnal yang kamu tulis sebelumnya.”

Kali ini aku mencoba menurut saja apa yang diperintahkan Bu Diah, sudah lelah dengan rasa yang sulit aku deskripsikan ini. Hidup tapi seperti tidak hidup. Cemas dan takut, tapi tidak tahu apa yang dicemaskan. Lemas dan tidak berdaya, tapi bukan karena sakit fisik apalagi kurang makan.

“Beberapa hari yang lalu saya teringat peristiwa adik saya memecahkan meja, dan hal itu membuat dada saya terasa sesak dan menangis sesenggukan tanpa henti.” Jawabku setelah membuka lembaran catatanku, tenggorokanku mendadak seperti tercekat, rasa sedihnya ternyata masih sangat melekat.

“Lalu apa yang kamu temukan?”

Aku mencoba mengatur napasku, lalu meneguk segelas air yang disediakan di meja.

Lihat selengkapnya