Cahaya pagi menerobos melalui tirai jendela kamar, menyentuh lembut wajahku, menghadirkan kehangatan yang kontras dengan keraguanku yang berkecamuk. Sambil duduk di tepi tempat tidur, aku meraih ponsel untuk melihat kembali pesan chat dari Stefi yang berisi undangan kebaktian Minggu pagi. Kemarin, aku sempat merasa bimbang dan bersalah karena tidak menghadiri ibadah tersebut. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk tidak pergi.
Masih segar dalam ingatanku, kebaktian minggu lalu di gereja Stefi. Khotbahnya sangat pas sekali dengan keadaanku, karena bertema "Melawan Rasa Takut". Aku berharap khotbah itu bisa membantuku terlepas dari jeratan ketakutan yang membelenggu ini. Sayangnya, khotbah itu sama sekali tidak membantu. Penjelasannya terdengar abstrak, dan sepanjang ibadah, kecemasan terus menghantuiku. Aku bahkan berharap ibadah segera berakhir. Apalagi, di tengah sesi pujian, dadaku sempat terasa sesak dan tubuhku gemetar. Beruntung, hal itu hanya berlangsung sampai pujian penyembahan selesai.
Saat itu, yang bisa kulakukan hanyalah berdoa dalam diam, memohon perlindungan dari Tuhan. Sungguh, pengalaman paling menakutkan sepanjang aku beribadah. Jadi, inilah alasan kuat mengapa aku bolos ibadah.
Kalau dipikir lagi, rasanya memang aneh. Dengan tabungan iman sejak kecil dan kebiasaan beribadah yang rajin dalam keluargaku, seharusnya keadaan kami harmonis. Ayahku lebih bijak dan berani menggunakan otoritasnya sebagai kepala keluarga. Ibuku bisa mempraktikkan perannya sebagai istri dan ibu bijak yang digambarkan di kitab Amsal, dan kedua adikku tumbuh dengan baik. Yang paling penting, aku seharusnya punya kapasitas kasih yang besar untuk mengampuni kesalahan keluargaku. Kenyataannya kontras sekali. Meski hatiku mengatakan aku mau mengampuni mereka, saraf-saraf di tubuhku terlanjur menolak, menganggap mereka sebagai ancaman yang harus kuhindari.
Aku jadi kian bertanya-tanya, apakah ibadahku selama ini sia-sia? Apakah karena aku menyimpan amarah yang begitu dalam, Tuhan makin tidak berkenan? Dalam situasi seperti ini, seharusnya aku semakin dekat dengan Tuhan, tetapi kenyataannya aku justru enggan beribadah. Sudah lama aku merasa ibadah yang kuikuti terasa kosong.
Seiring bertambahnya usia, dengan banyaknya konflik yang terjadi di keluarga—dimulai dari Ayah dan Ibu yang sering berselisih—aku dan Arga yang ujungnya salah paham, dan itu memberi trauma mendalam. Apalagi sejak ia menikah dengan mental yang belum matang—kami sekeluarga saling menyumbang emosi negatif satu sama lain.
Sadar atau tidak, ibadah akhirnya menjadi rutinitas dengan suara-suara kosong yang menggaung tanpa arti. Setiap pesan dalam khotbah hanya melintasi permukaan kesadaran tanpa benar-benar menyentuh jiwa dan relung hati.