Suara ayam berkokok dari arah halaman, menyelinap ke dalam dapur rumah Mbah Uti, menyatu dengan wangi pisang goreng yang baru saja ditiriskan. Aroma manisnya menguar, namun tidak mampu menutupi perasaan gelisah yang mulai menghimpit dadaku setiap kali bertemu dengannya, si sosok menakutkan. Kali ini, Mbah Uti duduk di kursi kayu kesayangannya dengan pisang goreng yang masih mengepul, lalu memandangiku dengan mata penuh penilaian.
“Cah wedok kok uelek...” kembali ucapan Mbah Uti bergema dalam benakku. Ucapannya itu menggantung di udara seperti benang halus tak kasat mata yang berhasil menjerat pikiran dan perasaanku.
Sebagai seorang anak kecil, aku tidak mengerti sepenuhnya maksud ucapannya, tetapi suara lembutnya ternyata membawa beban luka dan menggoreskan jejak yang tidak bisa dihapus oleh waktu. Aku pun hanya bisa bertanya-tanya: Apa maksud Mbak Uti? Karena dunia bagiku masih tempat yang penuh warna dan keajaiban, belum ternodai oleh standar kecantikan.
“Wes irunge pesek, lek gedene enggak ono wong lanang sing gelem, piye?” lanjutnya, sembari menggelengkan kepala dengan tatapan kecewa. Hinaan itu seketika membuatku enggan menikmati pisang goreng yang sebelumnya terlihat begitu menggoda. Meskipun ocehannya seperti ritme yang sudah kuhafal di luar kepala, tapi seperti mantra penegasan tentang kekurangan yang mustahil termaafkan, rasanya makin lama, makin menyakitkan. Sungguh, aku benar-benar tak memahami kenapa fisik yang kumiliki ini seolah menjijikkan. Bukannya Mbah Uti sedang menghina Tuhan?
Di sisi lain, sepupuku yang sepantaran denganku, salah satu cucu kesayangan Mbah Uti, selalu mendapatkan pujian yang melambungkan. "Duh, uayune sayange Mbah Uti, irunge mbangir, matae plalak-plalak, manis. Persis ibumu dulu, pasti akeh sing gelem," puji Mbah Uti sambil tersenyum lembut, seolah keberadaan sepupuku adalah cerminan dari semua hal baik yang diharapkannya.
Bahkan perlakuan Mbah Uti yang membedakan, terlihat kentara sekali, saat beliau mengambilkan pisang goreng, meniup pelan-pelan pisangnya, sampai menyuapi sepupuku ,tapi tidak kepadaku. Perbedaan perlakuan itulah yang membentuk pola luka tak pantas di cintai di hatiku.
Saat bermain di halaman belakang rumah Mbah Uti, aku sering memperhatikan bayangan wajahku di permukaan air kolam kecil. Airnya yang keruh, terkadang membuat bayangan itu tampak lebih buruk dari yang sebenarnya. Namun, dalam kesendirian, aku merasa tidak ada yang salah dengan hidung pesek atau bentuk wajahku yang mirip Bapak ini.
Bagiku, kritikannya adalah penolakan yang akhirnya membentuk gap diantara kami, aku lebih suka menghindari ketika Mbah Uti datang ke rumah, atau saat ibu mengajakku berkunjung ke rumahnya, walaupun kenyataannya sulit untuk benar-benar menghindar, karena ujungnya aku tetap bertemu dan selalu mendapat omelan yang itu-itu saja. ibarat diberi goresan luka di tempat yang sama.
Sepanjang hidupku, tidak ada satu pun orang yang menghindariku karena penampilan fisikku. Di sekolah, aku memiliki teman-teman yang selalu ada untuk bermain dan tertawa bersama. Jadi, aku tidak tahu mengapa Mbah Uti merasa begitu penting bagiku untuk menjadi cantik di mata dunia. Sampai-sampai, setiap kali ketemu Mbah Uti, ada perasaan berat yang tersisa di hati.
***
"Maaf, aku lagi tidak minat jalan," jawabku saat akhirnya mengangkat telepon yang terus bergetar menggangguku.
"Kamu sedang sakit?" tanya Tian, suaranya terdengar tulus dan penuh kekhawatiran.
"Aman kok, cuma ingin fokus ke diri sendiri saja." Aku tidak berani jujur bahwa aku sedang mengalami depresi dan dalam penanganan terapi psikolog.
Terdengar helaan napas kecewa dari Tian. "Baiklah, padahal aku sedang cuti dan ingin mencoba kafe terbaru yang sempat kita bicarakan."
"Maaf ya, lagian juga pandemi. Bukannya lebih baik kalau kita tidak bertemu?" sahutku, mencoba mencari alasan yang masuk akal.
"Iya sih, tapi selama kita mengikuti protokol, sebenarnya aman saja."