Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #7

7. Jalan Rekonsiliasi

Dulu, keramaian kendaraan di pagi hari yang cerah, selalu berhasil membuatku lebih semangat saat memulai aktivitas. Tidak seperti sekarang yang rasanya sangat hambar. Sungguh, aku tidak pernah menyangka, serangan panik benar-benar telah mengubah hidupku, kali ini bukan hanya semangatku saja yang hilang, tapi seluruh hidupku juga seakan lenyap. Semacam hidup tak hidup, tubuhku seakan melayang, kakiku tak benar-benar menapak tanah.

Pagi ini, sesuai permintaanku, aku menjalani konsultasi yang jadwalnya lebih maju. Aku diantar oleh Abid, adik bungsuku yang ternyata bisa mengendalikan dirinya sendiri dan mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Dia tahu sekarang, aku tidak bisa dibonceng dengan kencang.

  Sepanjang perjalanan yang cukup jauh, kami saling terdiam. Aku tenggelam dalam kecemasan dan kesedihan, sementara Abid tampak ragu memulai pembicaraan.   Tiga puluh menit berlalu, dan sampailah aku di tempat praktek Bu Diah.

Setelah menyerahkan helm yang kupakai kepadanya, Abid langsung meninggalkanku seorang diri. Selalu seperti itu, tugasnya memang hanya mengantar dan menjemputku. Setidaknya,  ia masih bersedia mengantarku yang jelas masih takut memakai ojek online sendiri. Kontras dengan keadaanku sebelumnya yang selalu mandiri dan tak ingin merepotkan siapapun.

    Sembari menunggu giliranku, aku memilih duduk di salah satu kursi yang disediakan. Aku mengarahkan pandangan ke arah gedung yang terlihat kokoh, sesekali aku juga melihat ke arah langit biru yang cerah, kontras  sekali dengan suasana hati dan pikiranku.

   “Selamat pagi, Sera,” sapaan lembut Bu Diah membuyarkan lamunanku. Pasien sebelumnya berlalu tanpa kusadari, dan kini Bu Diah sudah berdiri di depan pintu ruang praktiknya, mengundangku masuk.

      “Mau minum dulu?” tanya Bu Diah, menatapku dengan cemas.

Aku menggeleng.

           “Bagaimana? Sudah siap bercerita?” lanjutnya setelah memastikan aku duduk dengan nyaman.

           “Saya bingung, Bu, mau mulai dari mana.” Hawa dingin tiba-tiba menyelimuti tubuhku.

           “Coba atur napas pelan-pelan dulu, biar lebih rileks,” ujar Bu Diah, membantuku menenangkan diri.

           “Kalau bingung, coba cerita hal yang terus mengganggu benak kamu,” sarannya setelah sejenak mengamatiku.

           “Saya mencoba meditasi, Bu. Setelah bertanya ke Ibu dan melihat komentar orang-orang yang merasa terbantu, saya penasaran. Saya coba, meski di awal merasa tidak nyaman, saya paksa menikmatinya hingga melewati lima menit pertama. Tapi di menit-menit selanjutnya…” Napasku tersendat.

           “Saya…” Tubuhku mulai gemetar.

           “Saya melihat cuplikan saat Arga menendang saya, Bu, dan saya tidak bisa menahan rasa sesak di dada lagi. Setelah itu, saya mengalami serangan panik yang sangat intens, dan saya sulit mengendalikan tangisan saya. Bahkan sebelum datang ke sini pun, disamping cemas, rasanya sedih terus.” Aku menceritakan secara detail apa yang kualami sebelumnya. Air mataku sudah jatuh. Aku tak lagi merasa sungkan. Perlahan, aku merasa nyaman bisa berbicara dengan Bu Diah yang tak menghakimiku dan memahami sudut pandangku.

           “Saya bisa merasakan kesedihan kamu, Sera. Peristiwa ini sepertinya memang meninggalkan luka yang dalam bagi kamu.” ujar Bu Diah sambil mendengarkan ceritaku.

Lihat selengkapnya