Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #8

8. Mengikis Ego

Aku menatap Arga dan istrinya dengan tatapan tak percaya ketika mereka tiba-tiba datang ke rumah. Ironis rasanya melihat orang tuaku menyambut mereka dengan hangat, seolah peristiwa dua minggu lalu itu hanyalah bayangan kelabu yang cepat berlalu. Arga berdiri di sana, matanya penuh keyakinan menantang, seakan tak ada setitik pun rasa bersalah yang membebani dirinya..

           Kemarahan, ketidakberdayaan, dan kepedihan dalam diriku seakan mendidih. Akupun masuk ke kamar dan membanting barang-barang, demi melampiaskan semua emosi dan kekesalanku yang ternyata tak mampu kutahan. Tubuhku bergetar hebat, semua rasa itu saling berkelindan menghimpitku hingga aku tanpa sadar memukul dada dan kepalaku sendiri. Arga, bukannya merasa bersalah, malah terpancing emosinya. Ia yang masih di ruang tamu, seketika berdiri dengan tangan mengepal dan berteriak, “Laporkan saja ke polisi! Aku tidak takut!”

           Kedua orang tuaku, yang mulai ketakutan, akhirnya meminta Arga untuk pulang, ada kata yang terdengar jelas, kata dari Bapak yang berusaha menenangkan Arga. “Sabar-sabar, ngalah.” Yang makin terdengar bahwa akulah yang salah. Emosi yang kurasakan pun kian bergejolak  kuat hingga aku tak bisa berhenti menyakiti diri sendiri, memukul dada dan kepalaku berkali-kali.

           Bapak segera menghampiriku di kamar yang tak sempat kukunci, ia mencoba menghentikanku, tetapi cengkeramannya begitu kuat hingga kuku jempolnya melukai kulitku. Baret-baret luka menghiasi lenganku, dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Bapak justru membentakku, memelototiku dan memintaku untuk diam jangan histeris, makin mempertegas kesalahan memang ada padaku.

           Akhirnya, dalam kemarahan dan rasa sakit yang tak tertahankan, aku mengusir mereka dari kamarku dengan teriakan yang mengguncang.

***

           Di tengah perjalanan pulang konsulitasi, nasihat Bu Diah tentang perlunya rekonsiliasi keluarga terus berdengung di benakku. Menimbang semua tindakan Arga, terutama sejak ia menikah, beserta rentetan drama keluarga yang terus bergulir, membuat saran itu terasa seperti beban yang hampir mustahil kugapai. Mengingat peristiwa saat ia menendangku, sekaligus terakhir kali kami bertemu kembali membuat jantungku terasa nyeri dan sesak. Segera aku menutup helm, mencoba menyembunyikan air mata yang mengalir tanpa henti.

           Air mataku baru terhenti saat ponsel di tasku bergetar. Pesan dari Tian muncul di layar, menanyakan kabarku dan mengajakku bertemu. Seandainya Tian mengajakku beberapa bulan lalu, sebelum aku merasakan kekosongan ini, pasti aku akan melonjak kegirangan. Tian adalah pria yang kusukai, sosok yang tanpa sadar memotivasiku, serta diam-diam menjadi idola di hati. Namun sekarang, ia tak mampu lagi membangkitkan antusiasku. Aku enggan bertemu siapa pun.

           " Apa kabar? Aku sepertinya ada di sekitaran rumahmu, mungkin kita bisa bertemu?" bunyi pesannya.

           Aku menatap pesan itu dengan tangisan yang tak tertahan. Tanganku bergetar, bingung harus menjawab apa. Di satu sisi, aku ingin menunjukkan kelemahanku dan mengatakan kalau aku tidak baik-baik saja. Namun, di sisi lain, aku merasa tidak layak menjadi teman dari pria yang kuidolakan ini. Akhirnya, aku memutuskan untuk menolak ajakannya dengan alasan yang biasa.

           “Maaf, Tian. Aku sedang kurang enak badan,” balasku singkat.

Lihat selengkapnya