Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #10

10. Bertarung Dengan Ego


           Lelah dengan carut-marut pikiran yang memenuhi kepalaku, aku memilih menutup wajahku dengan bantal sembari memejamkan mata. Mungkin cara ini bisa membantuku lebih tenang.

Samar-samar, aku mendengar suara tamu yang datang ke rumah—dua bapak-bapak yang suaranya terdengar tidak asing. Bapak dan Ibu segera mempersilakan mereka masuk. Ternyata, mereka adalah pendeta dari gereja tempatku beribadah dan seorang full-timer gereja yang sering menemaninya. Tujuan mereka datang ke rumah adalah untuk menjenguk ibu yang baru saja pulang dari rumah sakit.

           “Bagaimana, Bu? Mikir apa kok sakit lagi?” tanya pendeta yang sudah paham dengan penyakit ibu beberapa tahun belakangan ini.

           “Mikirin dua anak yang bertengkar, Pak.” jawab Ibu, membuatku spontan membuka bantal dari wajahku.

           Bertengkar? Siapa yang bertengkar? Itulah kebiasaan Ibu, selalu merasa dirinya adalah korban. Padahal jelas-jelas semua adalah salahnya yang selalu menganakemaskan Arga.

           “Ya, sebenarnya tidak bertengkar, Pak. Hanya salah paham,” Bapak berusaha meluruskan, namun tetap tidak membantu.

           “Kok bisa bertengkar, gimana, Bu?”

           “Ya gatau pak.” Balasan Ibu makin membuatku kesal. Jelas-jelas masalahnya ada di Ibu, sekarang enaknya bilang tidak tahu.

Kalau bukan karena Arga yang setiap pulang kerja mampir ke rumah dan menceritakan keadaan keluarga istrinya yang membuatnya lelah, Ibu tidak akan mikir keras, dan berujung sakit.

           “Sekarang mana Mbak Seranya, Bu?”

           “Itu di kamar.”

           Bapak pun segera memanggilku, menghampiriku ke kamar. Sebenarnya aku enggan menemui, tetapi terpaksa melakukannya.

           “Sebenarnya apa yang terjadi, Nduk?” tanya full-timer gereja.

           “Saya hanya berusaha menjaga kedua orang tua saya saja kok, Pak. Nggak lebih. Apalagi di masa pandemi ini. Mereka harusnya tahu, saya tidak punya siapa-siapa lagi selain mereka.” balasku sembari menahan kekesalanku.

           “Arga selalu datang ke rumah dalam keadaan dari luar, tidak mandi dulu, tapi langsung masuk ke kamar, langsung curhat ke Ibu, sementara saya masih posisi mengajar online. Suaranya samar terdengar oleh murid saya. Ya jelas saya tidak suka, saya sudah ngomong kalau saya sedang kerja. Sudah memberi tanda, tapi tetap tidak dihiraukan.”

           “Kalau memang dia punya masalah dengan keluarganya, harusnya diselesaikan sendiri, kenapa dia yang pusing, curhat ke ibu, saya yang jadi korban?”

           “Kalau keluarga istrinya memang bermasalah dari awal, ya kenapa menikah?”

"Jelas-jelas waktu itu, ibu juga tahu sebelum berangkat ke rumah sakit, alasan saya meminta tidak menghubungi Arga biar tidak menambah masalah. Ibu sampai rumah sakit dulu, baru silahkan menghubungi Arga, posisi juga masih subuh." Aku nyerocos sesuai dengan apa yang muncul di benak.

           “Saya ikut prihatin, Mbak Sera. Pada saat katekisasi pranikah pun, saya juga sudah menyampaikan untuk dipikir-pikir, soalnya menikah itu tidak mudah. Pas saya tanya apa sudah mengenal pasangan dengan benar, mereka sepakat menjawab iya, dan terlihat yakin sekali.”

           “Tapi gimana ya, Pak, memang keluarganya itu ruwet.” timpal si full-timer

Lihat selengkapnya