Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #11

11. Memaafkan Untuk Pulih

  Entah sudah berapa lama aku tidak lagi merasakan ketenangan dari sejuknya udara pagi. Biasanya, kokok ayam beserta hangatnya sinar matahari selalu memberiku dorongan untuk segera bangkit menuju kamar mandi. Namun, kali ini—seperti beberapa minggu sebelumnya—membuka mata di pagi hari terasa begitu melelahkan. Tidurku tak pernah nyenyak; hanya satu-dua jam saja, itupun dihantui mimpi-mimpi yang mencekam. Aku sering mimpi dikejar singa, jatuh dari ketinggian, atau terombang-ambing di tengah lautan lepas. Rasanya sangat nyata, membuatku tetap ketakutan meski sudah terbangun.

           Namun, pagi ini, aku tak punya pilihan lain. Aku harus bangkit dari tempat tidur, meskipun tubuhku ingin terus menempel di kasur. Dengan sisa-sisa tenaga, aku menuju kamar mandi dan mencoba mandi dengan air dingin. Tak boleh memanjakan diri lagi. Tubuh dan pikiranku harus kupaksa untuk lebih kuat.

           Setelah mandi, aku mencoba olahraga ringan. Sepuluh menit senam—meski singkat, ini sudah kemajuan besar. Sebelumnya, lima menit saja sudah membuatku cemas dan memilih kembali ke kasur. Usai olahraga, aku duduk di halaman rumah, tepat di bawah sinar matahari, membiarkan pikiranku berkelana tanpa arah, melayang-layang sesukanya. Sampai aku tak sadar ketika temanku tiba-tiba datang dan menyapaku.

           “Woi...” sapa Rani sambil menyentuh pundakku, spontan membuatku menoleh.

           “Jangan ngelamun terus, Kak. Harusnya happy dong, sudah resign!” katanya lagi, yang hanya kubalas dengan senyuman.

           Kami sudah terbiasa memanggil satu sama lain dengan sebutan "kak," panggilan khas di tempat kerja yang juga digunakan di antara para murid.

           “Ayo masuk, Kak. Dari mana?” Aku senang sekali bisa kembali bertemu Rani, temanku jajan sepulang kerja. Jadi kali ini, meskipun tubuhku mendadak terasa nyeri, aku berusaha terlihat baik-baik saja.

           “Aku ada pesanan home service eyelash, dekat sini, di ujung gang situ, jadi aku mampir.”

           “Wah, laris manis sekarang,” timpalku sambil mempersilahkannya duduk.

           “Syukurlah, Kak. Aku harus buktikan kalau setelah resign, aku bisa berkembang. Jangan sampai ucapan mereka yang merendahkan kita itu jadi kenyataan. Kadang rasanya sakit kalau ingat, tapi kalau dipikir lagi rugi. Kok enak mereka terus happy, aku yang malah menyimpan rasa sakit hati,” balasnya setengah curhat dengan nada bangga, membuatku merasa kecil.

           Benar juga kata Rani, menyimpan sakit hati rugi sendiri. Kadang aku ingin seperti Rani yang bisa begitu mudah melupakan, buktinya hidupnya terlihat selalu penuh semangat walaupun ujiannya juga berat. Ah, mungkin memang masalahnya beda. Yang Rani rasakan hanya konflik di dunia kerja, yang setelah resign kecil kemungkinan bertemu lagi. Tapi masalahku? Jelas-jelas konflik antar saudara, yang sampai kapanpun tak bisa diputus begitu saja.

           Aku dan Rani sudah berteman sekitar dua tahun. Kami sama-sama mengajar di salah satu lembaga les vokal dan memutuskan resign hampir bersamaan dua bulanan lalu. Ada hal yang membuat kami merasa tidak cocok bekerja di sana, walaupun bertemu anak-anak adalah kebahagiaan bagi kami. Tapi persaingan di tempat kerja cukup membuat kami lelah, padahal kerjanya hanya setengah hari saja. Selain itu, aku memang sudah lama ingin berhenti karena tak sanggup lagi mengajar bernyanyi secara daring sejak pandemi—rasanya kurang maksimal dan justru membuatku semakin stres. Tak ada yang tahu kapan pandemi ini berakhir. Katanya hanya dua bulan, sekarang sudah hampir setahun. Apalagi, yang membuatku makin merasa tak berfungsi sebagai manusia normal adalah sejak serangan panik itu muncul.

           “Kamu kok kurusan sekarang, Kak?” Rani menatapku heran.

Lihat selengkapnya