Setiap kali liburan sekolah tiba, meskipun ke rumah Mbah Uti bukanlah hal yang menyenangkan, aku masih merasa sedikit bahagia. Setidaknya, di sana, aku bisa bertemu dengan sepupu yang senasib denganku—sama-sama merasa tak diinginkan oleh Mbah Uti.
Awalnya aku pikir, sepupuku tidak disukai karena satu-satunya anak perempuan diantara empat saudara lelakinya. Ternyata bukan, ia tidak disayang hanya karena bukan anak kandung bude. Akupun baru tahu, setelah tidak sengaja menguping pembicaraan antara Mbah Uti dan Paklik saudara Ibu yang bungsu. Sedangkan aku, entah apa sebabnya. Padahal, aku bukan anak pungut. Berkali-kali Bapak meyakinkan kalau aku anak kandungnya dengan ibu, wajah kami juga mirip. Walau begitu, aku sering banget merasa bukan anak kandung mereka.
Liburan kali ini, seperti biasa, Ibu memboyong kami ke rumah Mbah Uti. Ibu memilih bekerja memetik cengkeh dengan alasan untuk membantu membayar uang sekolah. Aku tidak tahu jelas keadaan keuangan keluargaku, tapi yang jelas, memang sejak membangun rumah, keuangan kami tidak seperti sebelumnya, bahkan aku pernah tidak diberi uang saku. Beruntung saat itu ada Bude, Kakak si Bapak, yang kebetulan rumahnya berdekatan denganku dan memberiku uang saku.
Arga jelas senang kalau liburan ke desa. Selain bertemu sepupu-sepupunya yang sepantaran, ia juga sangat dimanja oleh Mbah Uti, berbeda denganku yang selalu diabaikan. Setiap kali aku mencoba bertanya pada Ibu, aku malah dimarahi dan dibilang, "Makanya, jangan nakal." Padahal dibandingkan semua anak kecil seusiaku, aku tergolong penurut, aku juga berprestasi di sekolah. Jika mengadu pada Bapak, ia hanya bilang, "Jangan diambil hati. Memang Mbah Uti sifatnya seperti itu." Tapi, bagaimana bisa tidak diambil hati?Aku tidak pernah tahu caranya, tiba-tiba saja rasanya tidak nyaman. Memangnya aku suka?
Kami tiba di rumah Mbah Uti siang hari, setelah menunggu mobil yang kami tumpangi penuh. Satu-satunya mobil yang bisa mengantar sampai ke rumah Mbah Uti yang letak desanya paling ujung.
Mbah Uti segera menggendong Arga dengan penuh cinta, menciuminya dengan kasih sayang. Pemandangan ini sudah biasa kulihat, tapi tetap saja terasa menyakitkan. Aku berdiri mematung, berharap mendapat pelukan yang sama. Tapi, yang kudapat hanyalah komentar seperti, "Kok tambah ireng," atau, "Ojok nyusahno ibukmu ae." Daripada makin terluka, aku memilih duduk di kursi panjang di halaman rumah Mbah Uti, mendekati Brinu, anjing kesayangan almarhum Mbah Kakung yang sedang menjilati bulunya sendiri. Seandainya Mbah Kakung masih ada, mungkin aku sudah disambut dengan kebahagiaan dan diajak membeli pisang goreng serta es dawet favoritku.
Aku sering berpikir, mengapa Mbah Uti selalu memperlakukan Arga dengan penuh kasih sayang, sementara aku hanya menerima cibiran? Mungkinkah ada sesuatu tentang diriku yang membuatnya tidak suka? Pikiran itu terus menghantuiku, meski aku tahu tidak seharusnya terlalu memikirkan hal ini. Tapi, setiap kali melihat Arga dipeluk dengan penuh cinta, rasanya sakit.
Brinu mengendus-endus kakiku, seakan memahami perasaanku. Aku membelai kepalanya perlahan, mencari sedikit ketenangan dari kehangatan bulunya. Terkadang, aku merasa hanya Brinu yang benar-benar peduli padaku di rumah ini. Aku bisa bermain, berbicara padanya tanpa takut dihakimi atau dicibir. Setidaknya, Brinu lebih membuatku bahagia.
Mbah Uti dan Ibu sibuk di dapur, mempersiapkan makanan untuk makan siang. Arga dengan gembira berlari-lari di halaman bersama sepupu-sepupunya, sementara aku duduk termenung di bawah pohon kelapa. Di desa ini, aku selalu merasa terasing, seperti orang luar yang tidak diinginkan kehadirannya.
Saat makan siang, seperti biasa, aku duduk di ujung meja, jauh dari perhatian. Mbah Uti sibuk mengurus Arga, menyiapkan makanan untuknya, sementara aku terbiasa mengurus diriku sendiri, jangan manja sedikitpun kalau tidak mau dibentak atau dicaci.
Makanan yang disajikan di meja, lagi-lagi terasa hambar di lidah, mencerminkan suasana hatiku yang kosong. Kalau tidak karena lapar, aku tidak akan lahap. Aku sudah lupa rasanya makan enak di rumah ini, terkahir tentu sebelum Mbah Kakung ada.
Liburan di desa selalu terasa lambat. Tidak ada banyak hal yang bisa kulakukan untuk sekedar bersenang-senang. Hari-hariku disana hanya diisi dengan membaca buku, bermain sebentar dengan sepupuku, atau dengan si Brinu, sembari berharap segera pulang. Setidaknya, aku masih bisa bertemu Bapak.