Libur Lebaran di rumah Mbah Uti selalu menjadi mimpi buruk yang sulit kuhindari. Rasanya seperti menjemput luka yang baru, meski luka lama belum sembuh. Usiaku masih 12 tahun— yang seharusnya bahagia menikmati masa tanpa beban layaknya orang dewasa. Namun, goresan lukaku, setara dengan luka orang dewasa. Bagimana tidak? setiap momen, ada saja luka baru yang menambah rasa sakit.
Salah satu orang yang ikut menyumbangkan luka adalah sepupuku, Tia. Usianya jauh di atasku—sekitar delapan tahun lebih tua. Ia selalu punya kebiasaan menyebalkan: membandingkan aku dengan sepupu-sepupu lain yang sepantaran, terutama Lia, si "anak emas" yang dianggap sempurna dalam segala hal. Ya, salah satu cucu kesayangan Mbah Uti.
Di sore hari yang masih terasa panas, kami deretan para cucu, sedang duduk di teras rumah Mbah Uti. Tia memulai lagi kebiasaannya yang menyebalkan.
"Lia tuh pinter, ya. Masih kecil sudah rajin nyapu, ngepel, cuci baju orangtuanya. Semua pekerjaan rumah dia bisa!" katanya sambil menyeringai. Kata-kata yang spontan menusuk tepat ke hatiku.
Aku hanya bisa diam. Lidahku kelu, meski di dalam, ada amarah dan kepedihan bergelora. Aku ingin sekali membela diri, tapi apa gunanya? Di saat-saat seperti itu, dunia selalu bersekutu melawanku. Anggota keluarga lain, yang duduk tak jauh dari kami, hanya ikut tertawa kecil, mengamini semua yang Tia katakan. Bahkan Ibu, yang duduk di sudut teras, tidak pernah berusaha membelaku. Ibu hanya melirikku sekilas, lalu dengan nada dingin berkata, "Makanya, Sera. Belajar lah! Jangan cuma malas-malasan bantu pekerjaan rumah. Nggak malu sama Lia?Memang pemalas."
Pernyataan itu menusuk lebih dalam dari apapun. Ibu... dia sangat tahu aku ingin membantu di rumah, tapi setiap kali aku mencoba, setiap kali aku ingin ikut meringankan bebannya, dia selalu melarang. "Nggak usah ikut campur, nanti malah berantakan," katanya. "Jangan sentuh itu, kamu nggak bisa, nanti rusak," kata lagi. Apa saja yang kulakukan selalu salah. Aku tak pernah diajari, tapi dituntut harus bisa melakukan banyak hal, lalu dicaci jika aku tidak sempurna. Menyapu contohnya, ia selalu mengritikku, tapi tidak pernah memberi contoh menyapu yang benar itu seperti apa, kalau ditanya baik-baik pasti dijawab “Makanya dilihat.” Padahal, aku sudah melihat dengan dengan tepat tapi tak pernah benar.
Di sini, di depan seluruh keluarga, Ibu seolah mengkhianatiku. Aku merasa benar-benar tak punya tempat di hatinya. Tak ada ruang bagi kebaikan atau apresiasi. Yang ada hanya tuntutan dan perbandingan yang sebenarnya tak pernah adil bagiku.
Aku menatap tanah di depanku, mencoba menahan air mata yang perlahan memenuhi sudut mata. Aku tidak ingin menangis di depan mereka. Tidak ingin memperlihatkan betapa mereka berhasil melukaiku lagi. Tapi rasa sakit itu semakin menumpuk, seperti tumpukan debu yang tak pernah hilang, hanya menunggu waktu untuk meluap menjadi badai. Tak ingin terlihat lemah, aku pun beranjak ke kamar kecil yang terletak di sudut kebun belakang kandang kambing. Meskipun samar kudengar ucapan Ibu yang mengataiku. “Ya, gitu pergi, kebiasaannya Sera! Nesu!” aku tidak peduli, aku hanya tidak ingin terlihat lemah. Sekuat tenaga aku pasti akan menahan supaya menangis di depan mereka.
Malampun tiba, aku masih bersembunyi di kamar kecil di belakang rumah, menggenggam lututku, meringkuk sendirian. Suara tawa ibu dan anggota keluarga lain, masih terdengar dari ruang tamu, sama sekali tidak mengkuatirkan aku. Seolah dunia mereka penuh kebahagiaan, sementara aku terjebak dalam kesedihan yang tak terucap. Rasanya seperti dihukum tanpa tahu kesalahan apa yang sudah kulakukan. Hanya karena aku tidak bisa menjadi Lia seperti yang mereka harapkan, hanya karena aku tidak sesuai dengan standar mereka. Tapi memang aku bukan Lia, aku Sera.
Kenapa aku harus selalu dibandingkan? Kenapa aku tidak pernah cukup?
Lagi, aku bertanya-tanya, sampai kapan aku diperlakukan seperti ini? Apakah aku harus mengubah diriku menjadi orang lain hanya untuk diterima oleh mereka?
***
“Cobalah menghargai setiap perubahan kecil yang sudah terjadi, Sera. Kesembuhan itu butuh proses, bukan instan seperti ketok magic!” ujar Bu Diah setelah mendengarkan kegalauanku soal pekerjaan, keuangan, dan rasa hilang fungsi sebagai manusia sejak serangan panik mulai menyerangku.
“Apalagi setelah rekonsiliasi keluarga, saya yakin kemajuannya bisa lebih cepat.”
Rekonsiliasi yang tidak banyak membantu. Aku tidak puas, meskipun sedikit lega efek didoakan pendeta.
Bu Diah menatapku beberapa saat sebelum melanjutkan, “Coba kamu lihat kembali jurnalmu, apakah intensitas serangan paniknya masih tetap sama? Benarkah tidak berkurang?”
Aku menggeleng. “Berkurang banyak memang, Bu. Tapi, saya ingin bisa bekerja lagi. Saya pengangguran sekarang, dan pasti orang di rumah makin melihat saya tidak berguna.”
“Apa mereka mengatakannya kepadamu?”