Lebaran kali ini, di usiaku yang ke-11, kembali smenjadi alah satu momen yang sulit kulupakan. Setiap tahun, saat keluarga besar ibu berkumpul, adik ibu, satu-satunya saudara yang punya mobil, selalu punya agenda, mengajak kami semua ke rumah kerabat dari Mbah Kung dan Mbah Uti yang terletak di pelosok desa. Aku si anak yang sering tak dianggap ini, tidak punya pilihan selain ikut, meski tahu betul kalau perjalanan ini akan menambah trauma baru. Tapi kali ini, sepupuku yang senasib, ikut dalam perjalanan ini, setelah perjalanan sebelumnya selalu dilarang ikut karena harus menjaga kandang sapi dan kambing, selain itu juga dianggap menyusahkan kalau mabok perjalanan. Meskipun sedikit lega, kecemasan tetap menggelayut sejak malam sebelumnya.
Di pagi buta, Ibu sudah menepuk pundakku dengan kencang, dan memaksaku untuk bangun, kalau aku menolak, maka omelan dan cubitan akan membuatku makin sakit secara fisik juga batin. Jadi mau tidak mau, walaupun uara dingin menyelimuti tubuhku, menusuk hingga ke tulang, aku harus berjuang untuk bangun dan bersiap. Kulihat dari jendela, kabut tipis menyelimuti halaman rumah, menciptakan suasana dingin yang semakin membuatku sulit bergerak.
"Ayo cepat! Jangan lelet, sudah ditunggu ini! Jangan karena kamu, ibu disalahkan!" seru ibu, penuh dengan tekanan, kedua bola matanya melotot ke arahku dan bersiap mencubit kalau aku tidak segera menjalankan perintahnya. Aku memejamkan mata rapat-rapat sembari menggigit bibirku saat menyiramkan air sedingin es ke tubuhku. Yang kupikirkan bukan lagi mandi yang bersih, tapi yang penting terlihat basah. Aku menggigil saat ibu memaksaku buru-buru berganti pakaian, padahal terlihat jelas aku kesulitan karena tubuhku terasa kaku akibat dinginnya suhu, namun ibu tidak peduli.
"Ayo! Cepat!” Ibu memukul lenganku.
“Kalau kamu lambat, nanti ditinggal. Semua marah, rame jadinya!" lanjutnya sambil membantu Arga, adikku, mengenakan baju. Aku hanya bisa menatap bayanganku di cermin sembari menahan tangis, karena kalau air mataku jatuh setitik saja, aku harus bersiap mendengar omelan dengan lengan yang membiru akibat cubitan. Sepintas, aku melihat bibirku yang kebiruan karena dingin, tetapi keluhan tak akan ada gunanya.
Sementara itu, adik ibu yang mengajak kami pergi, dan mewanti-wanti jangan telat, masih meringkuk nyaman di balik selimut hangatnya, bersama istri dan anaknya. Aku hanya bisa merasa iri, betapa mudahnya mereka mengabaikan orang lain.
"Itu Sera, tehnya! Diminum, duduk anteng situ!" suara Mbah Uti yang tegas membuatku tersentak dari lamunan. Aku segera menuju meja, mencoba mencari kehangatan dari secangkir teh yang disediakan. Namun, ketika tanpa sengaja menyenggol piring, Mbah Uti langsung memukul lenganku.
"Makanya ati-ati!" bentak Mbah Uti, pukulan ringan itu terasa seperti cambuk yang membuat dadaku sesak. Tubuhku yang kecil itu ibarat samsak bagi orang-orang dewasa yang melampiaskan emosinya sesuka hati, tanpa memikirkan perasaanku yang rasanya ditusuk belati berkali-kali. Jantungku sempat seolah berhenti sejenak sebelum akirnya berdetak lebih kencang, membuat dadaku seolah terasa penuh dan perutku seketika mulas. Lagi dan lagi, aku berusaha menahan air mata yang sudah menggenang.
Aku duduk diam, menyesap teh panas dengan rasa campur aduk—dingin, sedih, dan marah. Di sekelilingku, anggota keluarga mulai berkumpul di ruang tengah. Mereka tertawa dan berbincang dengan akrab, seolah tidak ada yang salah. Aku makin merasa terasing. Hanya duduk di sudut, berharap tak ada yang menyadari keberadaanku.