Ini bukan pertama kalinya aku bangun dengan rasa ngilu di sekujur tubuh. Namun, aku tetap mencoba duduk bersila dengan posisi tegak. Aku terus menyakinkan diri sendiri, bahwa jika kemarin aku bisa bertahan, hari ini pun pasti bisa. Aku mulai dengan mengucap syukur, melafalkan kalimat afirmasi dalam doa, kemudian mencoba mengatur napas, mengikuti salah satu saran dari seorang healer holistik.
Beberapa hari terakhir, aku merasa terpanggil untuk mencari tahu tentang self-healing yang kini banyak dibicarakan untuk membantu orang tetap tenang di tengah pandemi yang menimpa. Sebelumnya, aku sering menyerah di tengah jalan dan kembali tenggelam dalam keputusasaan, tapi kali ini, tekadku semakin kuat. Uangku semakin menipis, dagangan baju juga sepi karena dimasa pandemi ini orang lebih memikirkan makanan daripada pakaian. Di samping itu, aku juga tidak lagi mendapat gaji tetap sejak resign. Padahal, konsultasi ke psikolog terus berlanjut.
Ketidakpastian kapan pandemi COVID berakhir telah menciptakan kecemasan tak berkesudahan bagi banyak orang. Aku menyadari bahwa aku tidak sendirian setelah menonton live streaming dari seorang praktisi yoga dan meditasi yang rutin mengadakan meditasi bersama. Awalnya, aku hanya mengikuti untuk mengalihkan rasa cemas dari serangan panik. Namun, perlahan, aku merasa sangat terbantu dengan panduan meditasinya. Selain membuat tidurku lebih nyenyak, kecemasanku juga berkurang banyak. Jika serangan panik datang, aku bisa segera mendengarkan panduan meditasinya, dan detak jantungku perlahan kembali normal, napasku menjadi lebih ringan.
Pagi ini, sebelum beranjak dari tempat tidur, aku berencana mengikuti meditasi bertema "surrender." Pembahasan meditasi ini adalah tentang bagaimana kita tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Saat kebingungan melanda, kita diajak untuk mengembalikan fokus ke napas, memperhatikan alur masuk dan keluarnya napas, hingga mendapat ketenangan. Surrender bukan berarti menyerah dan pasrah pada keadaan, tetapi lebih pada memahami bahwa ada Tuhan yang akan selalu memberikan jalan keluar. Bu Diah juga sering mengingatkan untuk surrender, tapi aku saja yang merasa kesulitan untuk melakukannya.
Setelah penjelasan tema berakhir, praktisi meditasi meminta kami untuk duduk tegak dan memejamkan mata dengan kedua tangan terbuka. Musik yang terdengarkan menemaniku mulai mengatur napas, mencoba fokus dan tenang. Namun, kosentrasiku seketika buyar ketika mendengar suara Ibu yang selalu lantang.
"Sampai kapan Bapak nggak kerja?! Kita semua makan apa?! Sudah tahu kebutuhan tiap hari ada saja yang harganya naik." Suara yang sering aku dengar ketika Bapak tidak bekerja. Meskipun baru hitungan hari, dan uang belanja tidak benar-benar habis, karena ibu selalu mendapatkan bantuan dariku dan juga Abid.
Ibu selalu takut tidak punya uang, padahal selama ini, kami tidak pernah kelaparan meskipun hidup tergolong pas-pasan. Aku tidak pernah lupa membantu memenuhi kebutuhan keluarga agar mereka tidak lagi bertengkar soal uang. Tapi seberapapun usahaku, Ibu memang selalu berharap lebih.
"Lah gimana, belum ditelepon juragan, katanya memang penjualan sepi, aku juga maunya segera bekerja, nggak nganggur begini. Kamu pikir aku betah di rumah, dengar omelanmu?" jawab Bapak, suaranya lebih tenang dibandingkan Ibu, tapi tetap terasa pedih.
"Makanya usaha! Jangan kalau nggak dapat kerjaan di satu tempat, sudah diam. Dari dulu selalu begitu, ujungnya aku yang cari bantuan, nutup kekurangan."