Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #16

16. Berani Mengambil Keputusan


           "Wah... nanti matinya disalib, kepalanya dibalik, hi..." cemooh beberapa bocah lelaki, membuatku ingin menempeleng kepala mereka satu per satu. Namun, entah mengapa waktu itu aku merasa tak berdaya. Hampir semua teman sekelas memanggilku kafir, dan kata-kata mereka menancap di pikiranku seperti duri yang tak bisa dicabut.

           Tidak ada asap tanpa api, pikirku. Dan benar saja, penyebab sikap menyebalkan teman-teman itu tak lain adalah wali kelasku. Dia dengan tegas menyatakan bahwa orang Kristen itu haram di dekati dan layak dimusuhi, karena mereka itu adalah orang-orang kafir yang memeluk agama penjajah. Sebagai bocah kelas empat SD, kata-katanya sangat menyakitkan, namun juga membingungkan sekaligus menakutkan. Apa salahku jika aku berbeda? Kenapa perbedaan itu membuatku layak dimusuhi?

           Semakin hari, kebingungan itu berubah menjadi kesedihan. Teman-teman yang dulu akrab kini menjauh. Mereka yang biasa berangkat dan pulang sekolah bersamaku, mendadak memusuhi tanpa alasan yang jelas. Ima, teman sebangkuku yang juara kelas, bahkan menuduhku suka menyontek. Padahal, setiap tugas selalu kukerjakan sendiri. Yang paling menyakitkan, uang kerja kelompok yang sudah kubayar tak membuahkan apa-apa—namaku tak tercantum di tugas kelompok yang dikumpulkan. Ketika protes, Pak Jani, wali kelasku, hanya mengatakan, "Kalau tidak mengerjakan, tidak perlu banyak alasan, males-males saja."

           Nilai-nilaiku pun merosot drastis di kelas empat, dan ibu tentu saja memarahiku.

           Saat naik ke kelas lima, aku mulai memilih untuk menyendiri. Aku ingat sering pergi ke sebuah kelas kosong yang juga dijadikan gudang. Di sana, aku bisa membaca buku-buku yang menemani kesepianku. Kakak kelas sering melihatku di ruangan itu dan berbisik-bisik, "Wah, kok berani ya? Di ruangan itu kan angker." Mereka tak pernah tahu, bahwa menghadapi hantu lebih mudah daripada menghadapi teman yang terus-menerus mem-bully.

           Kebiasaan menyendiri itu terus berlanjut hingga kelas enam, sampai akhirnya muncul anak baru yang terlihat lebih pemberani. Dia satu-satunya yang mau berteman denganku, dan kehadirannya membuat hari-hariku di kelas enam lebih berwarna. Perlahan, semangat yang sempat hilang mulai kembali. Aku menjadi lebih ambisius, bertekad untuk menjadi seseorang yang menonjol, seseorang yang tak akan lagi dihina oleh siapa pun. Di balik tekad itu, tersembunyi keinginan sederhana—aku hanya ingin dihargai dan diakui, meski berbeda.

***

           Langit cerah pagi ini membawa ketenangan yang telah lama hilang dari hidupku. Rasanya begitu menyegarkan, seolah-olah aku baru saja dihidupkan kembali setelah sekian lama terperangkap dalam gelapnya ketakutan.

           "Saya melihat ada banyak kemajuan, Sera. Jadi saran saya, kamu tidak perlu konsultasi tiap minggu lagi. Mungkin bisa sebulan sekali, atau dua bulan sekali. Setidaknya untuk maintenance keadaan kamu" saran Bu Diah yang membuatku tak percaya mendengarnya.

           "Benarkah, Bu?" tanyaku dengan kedua bola mata melebar. Kabar itu bagaikan angin segar yang membawa harapan baru. Akhirnya, aku bisa mulai mengejar semua yang tertinggal selama ini.

           "Ya, tentu saja," jawab Bu Diah dengan senyum meyakinkan. "Tapi, kalau kamu merasa tidak nyaman sebelum jadwal sesi, seperti biasa, kamu bisa segera mengatur konsultasi. Ingat, Sera, yang paling tahu keadaanmu adalah dirimu sendiri. Jadi, sering-seringlah mendengar apa yang diinginkan tubuh, pikiran, dan batinmu. Kuncinya cuma satu kok, untuk menyenangkan orang lain, kamu sendiri harus bahagia terlebih dahulu.”

Lihat selengkapnya