Air hujan yang deras menghantam dedaunan, menciptakan suara gemuruh yang menggema dalam kesunyian, seolah menambah ketegangan dengan kilat yang menyambar dari langit kelabu. Aroma tanah basah menyusup ke dalam napasku, memancarkan kesan yang mengingatkan pada kerinduan yang aneh—kerinduan akan kehangatan yang entah hilang ke mana.
Padahal, sebelum hujan turun, langit tampak begitu cerah. Tapi, tiba-tiba saja mendung datang tanpa aba-aba, dalam sekejab berubah menjadi kelabu pekat yang mengiringi hujan deras mengguyur tanpa ampun. Aku menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan tenaga yang tersisa setelah seharian dihajar tiga ujian mata pelajaran dan mengajar les matematika untuk anak kelas enam SD. Rasanya ingin segera pulang dan menenggelamkan diri di kasur, membiarkan lelah ini larut dalam tidur yang sejenak membebaskanku dari segala beban.
Sementara teman-teman sesama pengajar dan pengurus, memilih menunggu hujan reda, menikmati teh hangat dan pisang goreng renyah, aku malah memutuskan untuk pulang, dan membungkus pisang goreng jatahku. Meski beberapa pengurus menyarankan agar aku menunggu, hatiku sudah bulat. Lebih baik segera sampai rumah dan beristirahat. Lagipula, jarak tempat les ini dengan rumah bisa kutempuh dengan berjalan kaki, meskipun cukup jauh. Naik angkutan umum pun tidak banyak membantu karena tak ada yang searah dengan rumahku. Jadi, kuputuskan untuk menyusuri jalan pintas setapak, melewati kampung demi kampong.
Untungnya, Ika, teman sesama pengajar les, memutuskan untuk pulang juga. Ia harus menjaga adiknya, karena ditinggal kerja ibunya yang shift malam, dan kebetulan rumah kami searah, meski rumahnya lebih jauh. Dengan langkah kaki yang beriringan, kami berdua menembus derasnya hujan, menyusuri jalan setapak yang penuh genangan.
Satu jam berlalu, akhirnya aku sampai di rumah. Hujan mulai mereda, menyisakan rintik halus yang masih membasahi jalan. Setelah berpamitan pada Ika yang melanjutkan perjalanannya, aku berdiri sejenak di depan pintu, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum memasuki rumah. Selalu ada perasaan ganjil yang sulit aku jelaskan. Bukannya merasa lega saat sudah di depan rumah, perasaan cemas malah menyergapku. Rumah ini, yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman, nyatanya tak pernah memberikan itu padaku.
“Sudah gajian, kan?” tanya ibu tanpa basa basi. Seperti biasa, Ibu menyambutku dengan nada datar, bukan dengan kehangatan yang aku rindukan. Pertanyaan yang sederhana, tapi seolah-olah menegaskan bahwa aku hanyalah sekadar mesin pencetak uang di matanya.
“Belum, Bu.” Jawabku pelan, mencoba menahan rasa letih yang semakin menumpuk. Aku menutup payung dan meletakkannya di pinggir halaman, lalu melepas sepatu yang basah. Air mataku sudah terasa mengganjal di tenggorokan, tapi kutahan agar tak tumpah. Selalu aku tegaskan ke diri sendiri, bahwa aku tidak boleh lemah.
“Sudah akhir bulan ini, minggu ke empat, jangan bohong,” ucap Ibu lagi, lagsung menuduhku.
“Bulan ini lima minggu, Bu. Gajiannya baru minggu depan,” jawabku sambil melepaskan kaus kaki yang basah. Hatiku terasa semakin berat. Kenapa rasanya seperti ini setiap kali pulang? Padahal, aku juga ingin bisa menemukan sedikit kehangatan di rumah ini, tapi yang kuterima selalu kekecewaan.
“Jangan pelit jadi orang. Mentang-mentang mulai merasa bisa cari uang sendiri, sama orangtuaperhitungan. Lupa kalau aku ibu yang sudah membesarkan kamu?” Selalu saja mengungkit hal yang membuatku kian sakit.