Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #18

18. Topeng Pencitraan

Alunan musik yang penuh energi menggema di seluruh ruangan gereja, menyusup ke dalam setiap sudut hati jemaat yang hadir. Suara gitar listrik, bass, dan drum berpadu harmonis, membawa semua orang dalam suasana penyembahan yang khusyuk. Meskipun wajah mereka tertutup masker, aku bisa merasakan emosi yang mengalir. Akhirnya, kami bisa beribadah di gereja saat pandemic seperti ini, meskipun harus jaga jarak dan membagi jadwal.

Aku melihat tangan-tangan jemaat terangkat, mata mereka tertutup rapat, beberapa orang bahkan meneteskan air mata seolah sedang menumpahkan beban berat hidupnya. Di tengah-tengah mereka, aku melihat ibuku sendiri, berdiri di sampingku, berdoa dan menangis seperti yang lain. Siapa pun yang melihatnya pasti akan menganggapnya sebagai sosok ibu yang penuh cinta dan dekat dengan Tuhan. Tapi aku tahu lebih dari itu. Aku tahu kenyataan yang tersembunyi di balik air mata dan doa-doa itu yang terasa palsu, meskipun aku terus berusaha meyakinkan diriku sendiri.

Spontan, senyum kecut muncul di bibirku, rasa getir mengalir di hatiku. Seolah ada dua dunia yang berbeda di sini—dunia yang dilihat oleh semua orang, dan dunia yang hanya kuketahui.

Aku menepis pikiran itu, merasa bersalah.

Apa yang sedang kupikirkan? Ini bukan saatnya untuk merasa benar sendiri? batinku. Di tempat ini, seharusnya aku fokus kepada Tuhan, bukan pada rasa kekesalan dan ketidakpuasan yang meracuni batinku. Tuhan, ampunilah aku... aku berbisik dalam hati, mencoba untuk ikut terbawa dalam suasana penyembahan, seperti yang lainnya, sayangnya gagal.

Aku justru mengalihkan pandanganku ke arah Bapak, yang berdiri tepat disamping Ibu, tak terlalu jauh, karena aku masih bisa melihat dengan jelas, meskipun posisi duduk kita berjarak. Wajah Bapak tertunduk, air mata mengalir di pipinya. Tangannya terlipat menempel di dada, seolah menahan rasa sakit yang selama ini ia pendam. Aku tahu, ia berusaha memaklumi dan memaafkan sikap Ibu berkali-kali, meskipun hatinya sangat terluka.

Aku sering bertanya-tanya, apa yang membuat Bapak tetap bertahan dengan Ibu? Apakah karena imannya? Atau mungkin karena keyakinannya bahwa Ibu akan berubah? Atau mungkin karena ajaran agama yang melarang perceraian? Apa pun alasannya, aku hanya bisa mengagumi keteguhannya yang gagal kupraktekkan. Aku kesulitan memaklumi sikap Ibu. Hatiku terus tidak terima, meskipun kelihatannya aku baik-baik saja.

Kekuatiran kembali menghantuiku—bagaimana jika aku mewarisi sifat Ibu? Bagaimana jika suatu hari nanti, aku menjadi istri dan ibu yang menyakiti hati suami dan anak-anakku, seperti yang Ibu lakukan? Pertanyaan itu selalu menghantui setiap kali aku melihat ketidakadilan yang Bapak alami.

Tiba-tiba, dentuman suara drum yang keras menggema, mengawali iringan pujian yang kembali dilantunkan jemaat. Suara pendeta terdengar lantang, meminta kami mengulang pujian yang sempat terhenti. Aku memaksa diriku untuk mengikuti irama musik dan instruksi dari pendeta, meskipun pikiran-pikiran itu masih menghantui benakku.

Setelah beberapa saat, pendeta meminta semua jemaat duduk. Ibu menyeka sisa air mata di wajahnya, sementara aku berusaha untuk tidak terus-menerus menghakiminya.

"Mungkin Ibu sudah berubah," pikirku, mencoba meyakinkan diri sendiri. Aku meraih Alkitab, buku catatan, serta ballpoint dari dalam tasku, demi komitmenku untuk selalu membawa kitab suci setiap ibadah, di tengah banyaknya orang yang sudah beralih ke ponsel.

Pendeta mulai berkhotbah tentang hubungan keluarga—bagaimana orangtua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya, dan memperlakukan mereka dengan baik, karena anak-anak adalah titipan Tuhan yang nantinya perlu dipertanggungjawabkan. Aku berharap, Ibu mendengarkan dan merenungkan apa yang disampaikan. Apalagi ketika pendeta berkata, "Orangtua seharusnya bisa menjadi contoh dan bisa memahami anak-anaknya, karena mereka sendiri sudah pernah menjadi anak-anak, sedangkan anak-anak belum pernah menjadi orangtua."

Lihat selengkapnya