Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #19

19. Tak Menemukan Jawaban

 

           Matahari sudah tenggelam ketika aku akhirnya sampai di rumah, setelah mengantre sangat lama untuk fotokopi tugas di satu-satunya tempat fotokopi di kampung ini. Langkah kakiku terasa semakin berat di setiap meter mendekati rumah. Kepalaku terus dipenuhi bayangan Ibu yang siap memarahiku. Namun, siapa yang bisa menduga kalau antreannya bakal sepanjang itu?Biasanya hanya menunggu lima belas menitan, tapi ini sampai lebih dari sejam. Aku hanya anak kelas enam SD, tidak berani meminta didahulukan atau protes jika ada orang yang lebih tua mendahuluiku, sedangkan tugas ini harus dikumpulkan besok.

           Aku berhenti tepat di depan pintu, tubuhku gemetar. Dengan hati-hati, aku mencoba membuka pintu, dan sesuai dugaanku, pintunya terkunci rapat. Aku mencoba mengetuknya beberapa kali, memanggil Ibu dengan suara bergetar, memohon agar dibukakan pintu. Namun, tak ada jawaban, hanya keheningan yang makin menekan.

           Panik mulai merayapi hatiku. Jantungku berdetak semakin kencang, rasa takut menggelayut, takut tidak bisa menyelesaikan tugasku tepat waktu dan tentu berefek pada nilaiku. Apalagi, Bapak yang selama ini bisa kuandalkan sedang bekerja jauh di luar pulau dan baru pulang setiap tiga bulan sekali. Lelah, aku memilih duduk di bangku permanen halaman rumah, mencoba menenangkan diri dan berharap ada keajaiban menghampiri.

           Tak lama kemudian, Arga datang dengan keringat yang membasahi wajah. Sepertinya ia lupa waktu saat bermain sepak bola dengan teman-temannya.

           “Mbak, kok di luar?” tanyanya sambil melangkah cepat ke arah pintu.

           Senyum Arga sirna saat dia menyadari pintu terkunci. “Loh, dikunci?!”

           Aku hanya mengangguk, tidak ada kata yang bisa kuucapkan.

           “Bu… buka pintunya!” Arga berteriak, tapi tak ada jawaban dari dalam. Dia mengulanginya beberapa kali, sampai suaranya memecah sunyi malam.

           “Masih mau pulang? Bukannya enak di luar? Tidur saja sekalian di luar!” seru Ibu dari balik pintu, suaranya tajam seperti sembilu.

           Aku langsung berdiri. “Bu, aku enggak main, aku sudah bilang mau fotokopi tugas kan? tadi antre, Bu!” Suaraku penuh harap, berharap Ibu luluh mendengar penjelasanku.

           Arga yang mulai kehilangan kesabaran menggoyang-goyangkan gagang pintu, tapi tetap saja, pintu itu tidak bergerak.

           “Alasan terus! Jujur saja kalau kalian main!”

           Sebanyak apapun kami menjelaskan, tetap saja Ibu tidak mau membuka pintu. Orang-orang yang lewat menatap kami dengan pandangan bingung. Tetangga yang mencoba membantu kami malah diabaikan oleh Ibu. Bahkan, mereka sampai menawarkan agar kami menunggu di rumah mereka, tapi aku dan Arga sepakat menolak, takut Ibu semakin marah jika kami meninggalkan halaman rumah.

           Kami berdua duduk diam di teras, menatap pintu yang tetap tertutup rapat. Hening menyelimuti kami, hanya ditemani suara malam yang mulai merayap. Aku sangat sedih dan kecewa sampai tidak bisa menahan air mataku. Benakku terus bertanya, mengapa Ibu begitu marah hanya karena aku pulang terlambat, tanpa mendengar alasanku? Padahal aku sudah pamit. Kenapa aku harus dihukum kalau Ibu sebenarnya kesal dengan Arga yang bermain terlalu lama?

Lihat selengkapnya