Suara azan subuh berkumandang, membangunkanku dari tidur yang lelap. Dingin subuh yang menusuk kulit membuatku enggan bangkit, dan lebih memilih menarik selimut hingga menutupi leher. Aku hampir kembali terlelap ketika suara ketukan keras menggema dari luar pintu kamar. Ketukan itu tak memberi ruang bagi rasa kantukku untuk bertahan.
"Sera! Bangun! Sudah subuh! Cepat mandi dan siap-siap, kita harus segera berangkat ke rumah Mbah Uti!" Suara tegas Ibu terdengar dari balik pintu, memecah keheningan subuh yang masih syahdu.
Perasaanku mendadak tak nyaman. Ingin rasanya aku memberontak, pura-pura tidak mendengar, dan kembali menarik selimut lebih rapat. Namun, sayangnya Ibu sudah membuka pintu kamar dan menyeret kedua kakiku.
"Jangan malas, mandi cepat!" perintahnya dengan nada tak terbantahkan.
“Bu, boleh kan aku tidak ikut?!” pintaku dengan nada memelas. Aku sudah SMP, seharusnya berhak menolak ajakan Ibu, terutama jika itu berarti harus pergi ke rumah Mbah Uti, tempat yang tak pernah membawa kebahagiaan bagiku.
"Silakan kalau mau tinggal di rumah, tapi tidak ada beras, tidak ada makanan apa pun, Ibu akan membawa semuanya ke rumah Mbah Uti. Ibu juga tidak akan memberimu uang jajan."
Jawaban Ibu membuatku terdiam seketika. Aku tidak punya banyak uang, disamping uang saku yang diberikan tidak banyak, kalau aku punya sedikit tabungan, tiba-tiba uangnya hilang. Setiap kali aku bertanya kepada Ibu soal uangku, jawabannya selalu sama, "Pinjam sebentar, Bapakmu belum kirim uang." Tapi uang itu tak pernah dikembalikan. Kalaupun aku memaksa sampai menangis, agar Ibu mengembalikan uangnya, Ibu hanya akan berkata, "Uang itu juga buat makan kita semua. Jangan perhitungan! Kamu tinggal ikut siapa sekarang?" Tentu jawaban itu membuatku kalah telak.
"Sudah, jangan banyak tingkah, cepat mandi sana, mumpung air rebusan untuk mandi Abid belum mendidih."
Sebelum pukulan Ibu mendarat di punggungku, dengan langkah berat, aku menuju kamar mandi. Aku segera ke kamar mandi dan menangis di sana untuk beberapa saat, sebelum mengguyur tubuhku dengan air sedingin es. Air dingin yang menyentuh kulitku ternyata tidak mampu mengalihkan sakit hatiku. Aku terus terbayang bagaimana sikap Mbah Uti yang tidak pernah berubah kepadaku. Justru semakin tua, kata-katanya semakin menyayat hati. Kerabat Ibu pun ujung-ujungnya hanya menjadikan acara kumpul keluarga sebagai ajang menyombongkan diri, terus membicarakan harta dan kekayaan yang dipunya, tapi kenyataannya sangat pelit ke orang lain. Jangankan oranglain, buat memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit. Kerabat Ibuku juga tidak akan malu meminta-minta, dari yang tua sampai anak-anaknya. Berbeda jauh dengan Ibu yang walaupun tidak sekaya saudara kandungnya yang lain, Ibu selalu murah hati kepada kerabatnya yang tak tahu diri. Entah apa yang ada di otak Ibu, padahal harusnya Ibu lebih perhatian dan sayang kan ke anak sendiri?
Selesai mandi, aku melirik ke arah Ibu yang sedang memasukkan beberapa kotak susu pemberian yayasan gereja. Susu-susu itu rutin dikirim untuk memenuhi kebutuhan gizi aku dan Arga.
"Bu, itu kan susu aku sama Arga? Mau dibawa juga?"
"Ibu sudah bilang kalau kita akan lebih lama tinggal di sana sampai Bapak jemput. Daripada Arga banyak jajan, kan lebih baik susunya dibawa sekalian."
Aku tidak percaya. Ini bukan kali pertama Ibu membawa semua makanan yang seharusnya kami nikmati, ke rumah Mbah Uti, hanya untuk dibagikan kepada saudara-saudarnya dengan alasan kami sudah bosan. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Susu-susu, cemilan, atau bahkan daging ayam itu memang jatah kami, untuk kesehatan kami. Sponsor kami dari luar negeri yang memberinya untuk kami, agar kami sehat. Namun, Ibu sepertinya tak paham bahkan tak pernah peduli. Jatah kami diberikan kepada orang lain, sementara kebutuhan kami sendiri anak kandungnya, terabaikan.