“Kiri, Pak,” ucapku, menghentikan langkah angkutan umum yang membawaku pulang. Udara panas masih menyelimuti, meski matahari sudah mulai condong ke barat. Setelah turun, aku menyerahkan uang lima ribu rupiah kepada sopir.
Jalanan berdebu yang membentang sejauh 500 meter menuju rumahku terasa begitu panjang, terutama setelah seharian bekerja. Setiap langkah seperti mengangkat panas dari aspal yang menembus sol sepatuku, memaksa tubuhku untuk tetap bertahan meski rasa lelah semakin menggumpal.
Sepanjang perjalanan, bayangan rumah menjadi satu-satunya doronganku untuk mempercepat langkah. Dinginnya air yang akan menyegarkan wajahku saat tiba di kamar mandi, dan rasa lega ketika akhirnya bisa duduk di kursi empuk, terus tebersit di benak.
Tapi sungguh di luar dugaan, begitu membuka pintu rumah, harapanku sirna. Wajah Ibu yang penuh kekhawatiran sudah menyambutku, ditemani Arga dengan kedua bola mata yang memerah, duduk lesu di lantai, bersandar pada tembok.
“Kamu ada uang 500 ribu?” tanya Ibu langsung, membuat kerongkonganku semakin kering. Kebiasaan Ibu yang tak pernah membiarkanku beristirahat dulu sebelum membahas soal uang, dan selalu membuat hatiku resah. Sejak kecil, ibu membuat urusan uang selalu menjadi topik yang sensitif.
“Kenapa?” tanyaku datar, sambil melepas sepatu yang terasa seperti membawa beban dunia.
“Adikmu butuh motor,” jawab Ibu dengan nada enteng, seakan masalah ini adalah hal kecil. Lagi-lagi, urusan Arga harus menjadi bebanku juga.
“Buat tambahan uang muka. Nanti dia ganti,” lanjutnya.
Aku tahu, Ibu akan terus mendesakku sampai aku menyerah dan memberikan uang itu. Dia tak suka mendengar kata ‘tidak ada.’
“Memangnya harus sekarang?” tanyaku, mencoba menahan kekesalan.
“Iya, tempat kerjanya jauh, dan tak ada teman yang bisa mengantar.”
Aku menghela napas panjang, bergegas menuju kamar mandi. Aku butuh waktu sebentar untuk mendinginkan wajahku yang memanas, bukan hanya karena cuaca, tapi juga rasa lelah di dada.
Air dingin menyentuh wajahku dari pancuran kran, sedikit rasa lega meresap. Tapi rasa iri tak bisa kuhindari. Sejak awal bekerja, Ibu tak pernah peduli atau sekadar menanyakan bagaimana pekerjaanku serta kesulitan apa yang kuhadapi. Bahkan ketika aku pulang larut malam dan sempat tertidur di angkutan umum, Ibu tak pernah mencariku. Dia bisa tidur nyenyak tanpa khawatir. Gajiku juga selalu dibanding-bandingkan dengan tetangga, padahal aku tahu tetangga itu suka melebih-lebihkan saat bercerita.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, Ibu sudah menunggu di depan pintu.
“Tolonglah, Ibu enggak minta banyak. Nanti juga dibayar,” desaknya lagi.
"Kamu enggak kasihan sama adikmu sendiri, mau pinjam siapa lagi kalau bukan ke Mbaknya sendiri?" kata yang akan selalu diucapkan Ibu sebagai senjata ketika meminta bantuanku jika sudah berhubungan dengan kedua adikku.