"Mbak, di rumah Mbak itu ada apa sih? Kok Mbah Uti nginep terus di rumah Mbak? Aku juga cucunya, butuh Mbah Uti juga nginep di rumahku," ucap Dik Risa salah satu cucu kesayangan Mbah Uti, setelah aku mengangkat telepon. Risa adalah anak dari adiknya Ibu—orang yang sombong, merasa paling kaya, dan tentu menjadi anak kesayangan Mbah Uti.
Aku baru saja bangun tidur, masih setengah sadar, mencoba mencerna kata-katanya.
"Maaf, Dik. Coba tanya sendiri ke Mbah Uti, kenapa beliau lebih memilih menginap di sini. Enggak ada yang maksa atau minta beliau tinggal lebih lama di sini, kok." Aku berusaha menjawab dengan tenang. Lagi pula, aku juga berharap Mbah Uti segera pergi dari rumah ini.
"Halah, Mbak! Enggak perlu banyak alasan. Ingat, aku juga cucunya Mbah Uti, bukan cuma kamu!"
"Tolong ya, jangan marah-marah. Lebih baik cari tahu sendiri kebenarannya, daripada tiba-tiba ngatain orang. Sorry, kamu ganggu!" Aku membalas dengan nada emosi, lalu segera menutup teleponnya.
Aku bangkit dari tempat tidur dengan perasaan kesal. "Dik Risa marah-marah ke aku karena Mbah Uti lama banget nginep di sini. Mending Mbah Uti segera ke sana, daripada aku terus-terusan dimarahi enggak jelas," ucapku pada diri sendiri sebelum menuju kamar mandi.
Kebetulan, seluruh keluargaku dan Mbah Uti sedang berkumpul di ruang tengah, menikmati gorengan dan teh hangat.
“Oh nasib awak mek siji digawe rebutan.” Ujar Mbah Uti yang merasa bangga dijadikan rebutan cucu-cucunya. Bagi cucu-cucu yang lain mungkin iya, sayangnya tidak bagiku.
"Lagian, siapa juga yang mau Mbah Uti lama-lama di rumah ini? Kenapa juga enggak ke rumah anak atau cucu kesayangannya, kan lebih enak, rumahnya juga lebih bagus. Siapa juga yang mau didatangi kesini hanya untuk diomeli dan dimarahin enggak jelas? Bikin orang enggak mood!" gumamku penuh kekesalan di kamar mandi, sebelum mengguyur tubuhku dengan air dingin sebelum bersiap untuk training kerja.
***
Sejak Arga pindah ke dekat rumah, drama di rumah sedikit berkurang. Meski masih diselingi perdebatan antara Bapak dan Ibu, tapi tidak sampai menambah masalah besar. Begitu juga dengan sikap Ibu yang kadang sangat baik, tapi di lain waktu mendiamkanku tanpa alasan yang jelas, tapi aku memutuskan untuk tidak terpengaruh, sampai Ibu minat menyapaku lagi.
Pagi ini, setelah aku selesai mengemas barang pesanan pembeli yang segera diambil kurir, aku menatap Ibu yang sejak tadi diam seribu bahasa. Biasanya, ia cerewet bertanya tentang barang yang kukirim, siapa pembelinya, dan ke mana saja paket itu akan pergi. Tapi kali ini, wajahnya tampak tegang dengan alis yang berkerut, sampai garis-garis di dahinya terlihat semakin dalam.
“Ini ada daster sisa dagangan, kalau mau. Soalnya setelah aku cek, kainnya sambungan, pasti pembeli tidak mau.” ujarku mencoba memecah kesunyian. Seketika, wajah Ibu berubah. Ia langsung meraih daster yang kuberi, membukanya dari dalam kantong plastik, dan segera mencobanya.
“Wah ya terima kasih…” ucapnya dengan wajah sumringah.
Aku hanya mengangguk dengan senyum tipis.
Begitulah Ibu—aku sudah hapal betul wataknya. Ia hanya akan baik kepadaku jika aku memberinya uang, membelikan makanan, atau barang kesukaannya. Rasanya seperti memberi gula pada semut. Saat manisnya ada, ia akan datang mendekat, mengikuti aroma manis itu tanpa henti. Namun begitu manisnya hilang, semut-semut itu akan berbalik, mencari sumber manis lainnya tanpa pernah menoleh lagi. Begitulah Ibu—kehangatan dan perhatiannya hanya akan datang kepadaku ketika aku memberinya sesuatu. Tapi ketika tidak ada, aku hanya menjadi bayang-bayang di rumah ini; tak terlihat, tak dianggap.
Semakin lama, aku semakin menganggap semua anggota keluargaku juga seperti itu. Namun, jika kupikir lagi, kesembuhanku yang kata Bu Diah tergolong cepat ini adalah satu-satunya hal yang seharusnya paling kusyukuri. Jadi, pilihannya sekarang hanya satu: memaklumi sikap Ibu daripada terus-terusan kesal dengan sikapnya yang bisa memicu serangan panikku.
Sebelum memulai mengetik bab cerita novel kontrak, aku memilih sejenak melihat media sosialku. Foto Tian yang sedang liburan di Bali muncul di layar. Senyumku tiba-tiba mengembang. “Syukurlah kalau ia sehat,” gumamku. Hubungan kami tidak berjalan mulus; lebih tepatnya, kami tidak saling berkabar. Entah Tian memang tidak menganggapku istimewa, atau aku yang sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan hubungan percintaan untuk saat ini.
Aku segera memusatkan lagi konsentrasiku ke kontrak menulis novel. Baru mengetik beberapa bab, Ibu tiba-tiba membuka kesunyian.
“Kalungku kapan ya dikembalikan, Arga?” ujarnya, membuatku sejenak menghentikan ketikan. Aku memperhatikan sekitar. Hanya ada aku dan Ibu di rumah.
Jangan dibalas, Sera. Diam saja, pura-pura tidak mendengar.