Jalan Pulang

Widiyati Puspita Sari
Chapter #23

23. Berani Membela Diri Sendiri

           Semalaman aku tak pulang, memilih menginap di rumah Arga. Meski kehadiran si kecil Putra sedikit menenangkan, tangis yang kutahan semalaman akhirnya pecah saat menimang tubuh mungilnya. Air mata yang sekuat tenaga kuseka tetap tak luput dari pandangan Arga dan Gina, meski mereka tampaknya enggan bertanya lebih jauh. Mungkin mereka tahu aku tak ingin membahasnya.

           Matahari belum muncul saat aku terbangun. Suara ayam berkokok dari kejauhan mengiringi kesunyian pagi itu. Aku mencoba menanyakan keberadaan Mbah Uti kepada salah satu kerabat Bapak yang rumahnya dekat dengan kami.

           "Mbah Uti  kamu sudah pulang, Mbak. Soalnya tidak terdengar suaranya lagi," jawabnya. Suara khas Mbah Uti yang ceriwis memang sering terdengar sampai rumah tetangga.

           Mendengar itu, aku merasa lega. Aku memutuskan segera meninggalkan rumah Arga. Meskipun ada Putra, rasa tidak nyaman tetap menyelimuti, karena aku dengan Arga dan Gina tidak terlalu dekat.

           Di tengah langkahku yang melambat, ada perasaan berat yang mengganjal di dadaku. Tapi tidak ada pilihan selain dihadapi. Sampai di rumah, suasana terasa dingin dan sunyi. Aku segera pergi ke kamar, mengambil baju bersih, dan bersiap mandi. Sepanjang jalan ke kamar mandi, tak ada tanda-tanda Ibu mengkuatirkanku. Aku sudah paham, jika Ibu sedang tidak enak hati, dia akan memilih bungkam. Suara perutku yang kosong menjadi satu-satunya suara yang terdengar di rumah itu. Aroma masakan Ibu menguar dari dapur, tetapi dia tetap pura-pura tidak menyadari kehadiranku.

           Sudah tak terhitung berapa kali aku diperlakukan seperti ini. Dulu, aku malah lebih sering tidak makan di rumah. Kalau kesal padaku, Ibu memilih untuk tidak masak, atau kalaupun masak, tidak diperuntukkan untukku. Setiap kali aku hendak mengambil makanan, Ibu selalu berkata dengan nada tajam, "Bukan buat kamu itu makanan.”  Atau “Tuh, kan masih butuh kan sama orangtua! Butuh makan juga kan? Kalau bukan Ibu yang masak, siapa yang akan kasih kamu makan? Kamu bisa apa tanpa orangtua, tanpa Ibu? Harusnya kamu bersyukur masih dibesarkan sampai sekarang, kalau tidak pasti sudah mati kamu!"

Kata-kata Ibu selalu seperti pisau yang menancap di hatiku. Aku tak tahan lagi, sehingga aku memilih tidak makan seterusnya, aku tidak takut kalau nyawaku bisa melayang karena keputusanku. Bisa jadi Ibu akan lebih senang sepeninggal aku yang selalu disebutnya sebagai beban hidup ini dan aku juga lebih tenang tanpa harus terus-terusan menahan rasa sakit.

           Pokoknya, perkara aku menahan lapar aku tidak pernah kalah, karena sepertinya Tuhan tetap memeliharaku lewat orang lain, entah itu orangtua temanku, atau bude dari pihak Bapak yang rumahnya dekat rumah.

           Sebenarnya, Ibu juga mengkuatirkanku, tapi sayangnya ia selalu mengeluarkan kalimat pahit yang justru tak mampu membuatku luluh. "Terus sok kuat , gak makan selamanya? Mau merepotkan orangtua?"

           Ibu sepertinya tidak pernah tahu, kalau yang kuinginkan saat itu bukanlah makanan, tapi permintaan maaf tulus Ibu. Tapi, kenyataannya sampai hari ini, permintaan maaf itu tidak pernah keluar dari bibirnya. Jadi, aku tak lagi berharap lebih daripada kecewa, karena kepada Bapak saja kepala keluarga yang harus di hormatinya,  Ibu tidak pernah melakukannya, apalagi kepadaku yang sejak kecil dibencinya.

           Ujungnya adalah, Bapak yang membujukku sembari meminta maaf. Berbeda dengan Ibu, Bapak selalu mengeluarkan kalimat yang selalu meluluhkan hatiku.

           "Kenapa Bapak yang selalu harus minta maaf? Kenapa bukan Ibu yang melakukannya?" tanyaku suatu kali, suaraku bergetar menahan emosi.

Bapak hanya tersenyum pahit. "Karena kadang orang yang kita cintai tidak bisa berubah secepat yang kita harapkan. Jadi , sekarang makan ya nduk. Bapak kan kerja buat keluarga, termasuk kamu, anak Bapak.” jawabnya.

           Ini baru perkara makan, belum lagi soal uang saku. Kalau Ibu marah, ia tak akan memberiku uang saku. Saat sekolah dasar, ini bukan masalah besar karena sekolahku dekat. Namun, saat duduk di bangku SMP yang jaraknya cukup jauh. Aku sering kali harus berjalan kaki, hanya karena Ibu marah.

           "Kenapa, sih, Bu? Kenapa Ibu selalu bersikap begini?" suatu hari, aku nekat bertanya.

Lihat selengkapnya