Aku menghentikan ketikan di laptop saat Bude Ti memanggilku dari ruang tamu. "Nduk, Bapak kamu telepon," ucapnya lembut.
"Masih repot, Bude," jawabku. Padahal, aku bisa saja berhenti sejenak dan menerima telepon dari Bapak. Namun, aku memang enggan mendengar suaranya, takut ujung-ujungnya ia akan memintaku untuk pulang.
Sudah tiga hari aku tinggal di rumah Pakde Ali dan Bude Ti, setelah diusir oleh Ibu. Alasannya? Karena aku tahu rahasianya, ketahuan mengkhianati cinta Bapak. Lagi dan lagi, Ibu yang bersalah, tapi aku yang menjadi pelampiasannya.
Semua bermula dari kebiasaan Ibu menerima telepon diam-diam dari yang ia sebut sebagai teman lama. Tetapi, apa benar teman lama menelepon puluhan kali setiap hari? Awalnya tak ada yang menyadari, karena kami semua sibuk dengan urusan masing-masing. Aku dan Arga bekerja dari pagi hingga sore, Bapak bekerja di luar kota,pulang seminggu sekali dan Abid sedang menjalani praktek kerja lapangan di luar kota. Tapi ketika aku memutuskan untuk resign dan mengejar passion berdagang serta menulis novel, segalanya berubah.
Ibu sempat marah besar saat aku memutuskan berhenti kerja. Katanya, aku malas, takut tidak bisa lagi memberi jatah bulanan kepadanya. Meski dimusuhi Ibu, aku tetap pada pendirianku. Usiaku belum 30, aku harus berani mengeksplorasi diri. Disamping itu, aku sudah lelah bekerja di dunia keuangan yang sudah tidak sehat, lingkungannya saling sikut, hanya demi jabatan.
Keputusanku resign membuat Ibuku semakin sering memarahiku, dengan mengatakan “Aku pemalas, enggak bingung kerja, sibuknya hanya main HP” tanpa Ibu tahu aku main hp karena bekerja membuat cerita serta berjualan, bukan main-main seperti yang ia sangka, sampai akhirnya, sebulan berikutnya aku memberinya uang lebih dan mengatakan. “Nih loh, aku enggak nganggur, aku terlihat main HP sebenarnya sedang bekerja, karena belum punya laptop.” Ujarku dengan kesombongan, momen yang sangat kunanti setelah setiap hari mendengar cacian darinya.
Berjalannya waktu, Ibu tidak lagi memarahiku, tapi dengan lebih banyak waktu di rumah, aku mulai melihat ada yang aneh. Teman lama Ibu ternyata sering datang ke rumah, dan kehadirannya mulai memicu kecurigaanku. Meski begitu, aku berusaha berpikir positif, tidak langsung menuduh yang bukan-bukan. Selama ini , seburuk apapun perlakuan Ibu kepadaku, belum pernah Ibu terlihat terlibat dalam hubungan terlarang.
Namun, ketika seorang pria botak datang ke rumah, memperkenalkan dirinya dengan senyum sok ramah, perasaanku mulai tak enak.
"Ini siapa?" tanyanya setelah aku keluar kamar untuk bersalaman.
"Ini anak pertamaku," jawab Ibu segera.
Aku tak ingin ikut campur lebih jauh, jadi aku tinggalkan mereka yang sedang berbincang. Tapi, sepulang pria itu, Ibu mendatangiku dengan ekspresi serius. "Jangan bilang Bapak, ya, kalau ada teman Ibu kesini," katanya.