Lorong rumah sakit perlahan tenggelam dalam kesunyian saat malam merambat, membawa keheningan yang mencekam. Cahaya redup dari lampu neon yang berjajar di sepanjang langit-langit menciptakan bayangan panjang yang bergerak lamban di dinding kusam, seolah menegaskan beratnya beban yang menggantung di hati. Aku dan Bapak duduk diam di bangku panjang, terjebak dalam pikiran masing-masing, sementara waktu seakan membeku, menunggu Ibu yang sedang diperiksa di Ruang Radiologi.
"Pak, kenapa sih Bapak masih mau melakukan ini semua untuk Ibu? Apalagi setelah semua yang terjadi?" tanyaku pelan, memecah keheningan yang mencekam. Mataku tak lepas dari wajah Bapak yang terlihat begitu letih, dengan guratan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.
"Ya, kan Ibu masih tanggung jawab Bapak, Nduk," jawab Bapak setelah menghela napas panjang, suaranya terdengar lemah namun penuh ketegasan.
"Iya, aku tahu, Pak. Tapi Ibu terus-terusan ingin pisah sama Bapak. Gimana kalau Ibu tetap mau pulang ke rumah Mbah Uti nantinya?"
"Ya enggak masalah, kalau memang itu keinginannya Ibu kamu. Yang penting Bapak sudah menjalankan tugas dan tanggung jawab Bapak sebagai suami," balasnya, raut wajahnya tetap tenang meski terlihat jelas betapa dalam luka yang ia rasakan.
"Pak… kok Bapak kuat banget sih? Kalau aku jadi Bapak, aku pasti sudah menyerah. Apalagi dengan sikap dan perlakuan Ibu yang…" Aku tak mampu melanjutkan, kata-kata itu terasa terlalu pahit.
"Nduk, kecewa itu wajar, kita masih manusia yang banyak kekurangan. Tapi jangan sampai kita kecewa sama Tuhan karena kita enggak tahu apa yang akan terjadi nanti, serta apa rencana Tuhan ke depan," jawab Bapak dengan bijak, pandangannya jauh ke depan, seakan melihat sesuatu yang tak bisa aku pahami.
Aku menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. Pandanganku kembali tertuju pada pintu Ruang Radiologi yang masih tertutup rapat, belum juga ada tanda-tanda Ibu akan keluar. Rasa kasihan sesaat menyusup ke dalam hatiku, tapi aku segera menepisnya. Ibu tetap salah di mataku, dan apa yang terjadi sekarang adalah konsekuensi dari pilihannya sendiri. Serangan stroke yang tiba-tiba itu seakan menjadi teguran yan mungkin saja memang datang dari Tuhan., Seandainya saja Ibu bisa menyadari betapa tulusnya cinta Bapak, mungkin tidak akan seperti ini. Mungkin Ibu akan memilih untuk menjadi istri dan ibu yang lebih baik, dan kami tidak perlu menghadapi kenyataan pahit yang menyesakkan ini. Apalagi, jika cinta Ibu kepada Bapak memang tak pernah ada, bukankah lebih baik dulu Ibu tidak memilih untuk menikah? Daripada membangun sebuah pernikahan yang akhirnya hanya menorehkan luka. Seandainya saja Bapak juga tidak dibutakan oleh cintanya, mungkin semua ini bisa dihindari.
***
Bapak memaksa masuk ke dalam kamarku, wajahnya penuh keletihan, namun tetap mencoba menyampaikan pesan yang sama seperti biasa. "Biar bagaimanapun, Ibu tetap orang yang melahirkan kamu, Nduk. Jadi tolonglah, lebih baik kamu mengalah, biar tidak ramai terus-terusan," katanya dengan suara lirih, seakan berharap kata-katanya bisa meredam amarah yang telah lama membara di hatiku.