Dicap sebagai anak yang tidak bisa apa-apa, dan anak yang habisin duit karena penyakitan oleh keluarga besar Ibu, membuatku tumbuh menjadi seorang Sera yang haus validasi dan perfectionist tanpa aku sadari. Dari TK hingga sekolah dasar, aku sering dibully hanya karena menjadi satu-satunya murid Kristen, dan suka bergonta-ganti seragam, tas, serta sepatu. Padahal, semua itu adalah bantuan dari sponsor luar negeri program gereja, hanya karena aku anak dari keluarga tidak mampu, tetapi berprestasi. Pertama kali aku mengenal sekolah, sudah di tempatkan di lingkungan teman-teman yang membenciku tanpa alasan. Namun, semuanya berubah saat aku memasuki masa SMP. Aku menjadi Sera yang aktif, berprestasi, dan punya banyak teman tanpa memandangku agamanya apa serta bagaimana keadaan ekonomi keluargaku dan itu tentu menumbuhkan rasa percaya diriku.
Suatu sore, suara Ibu terdengar samar dari kamar.
"Aku senang kalau ambil rapor Sera," ucap Ibu dengan nada bangga. "Selalu dipanggil duluan karena juara kelas, dan semua wali murid melihat ke arahku. Bangga rasanya."
Aku yang sedang duduk di tepi tempat tidur sembari membaca buku biologi, langsung bangkit, dan mendekatkan telinga di balik pintu demi bisa mendengarkan percakapan mereka lebih jelas dengan hati berdebar.
"Bapak juga bangga, Bu," jawab Bapak dengan nada lembut. "Sera memang anak yang luar biasa. Dari kecil, kelihatan kalau dia memang pintar.”
"Awalnya ya minder, Pak," lanjut Ibu, suaranya mulai terdengar kesal. "Wong semua yang ambil rapor kalau enggak naik mobil ya sepeda motor. Sedangkan Ibu, sudah naik angkot masih jalan kaki jauh. Makanya, Pak, cari duit yang banyak, biar minimal bisa punya motor seperti orang-orang."
Bapak terdiam sejenak sebelum menjawab, "Ya, Bapak sudah berusaha kerja keras, Bu. Bahkan sampai berangkat ke Bali dan pulang tiga bulan sekali. Gaji juga sudah Bapak kasih semua ke Ibu. Tapi, ya bagaimana lagi, rezeki kita masih dikasihnya segini sama Tuhan. Ya disyukuri saja, yang penting sudah punya rumah sendiri, bisa menyekolahkan anak-anak. Apalagi setelah krismon, Bu, semuanya tidak seperti dulu lagi, jadi serba susah."
"Dari sebelum krismon sampai sekarang, mana pernah memang Pak kita hidup enak?” protes Ibu.
Aku yang mendengarnya mendadak kesal. Padahal, ya itu semua karena Ibu yang tidak bisa mengatur uang, dan sering memberi uang saudara-saudaranya dan Mbah Uti.
“Bapak sih enak, hanya kerja dan setor uang. Ibu yang pusing ngatur uang. Bapak enggak ikut pusing berapa bayar ini, berapa bayar itu. Ibu capek, Pak."